siginews-Lamongan –Prof. Dr. M. Afif Hasbullah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Darul ‘Ulum (Unisda) Lamongan menilai kebijakan terbaru salah satu pasal dalam UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025 yang direvisi itu justru menimbulkan kekhawatiran dan kontraproduktif, yang mana dinyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya bisa mengaudit Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pernyataan ini disampaikannya usai mengisi sesi Kuliah Praktisi di Fakultas Hukum Unisda pada Kamis (26/6/2025).
Menurut mantan Ketua KPPU RI periode 2022-2023 ini, jika BPK hanya bisa turun atas permintaan DPR, maka potensi keterlambatan pengawasan dan intervensi politik menjadi sangat tinggi. Padahal, BUMN mengelola triliunan dana publik yang harus diawasi dengan ketat.
“Seharusnya, prinsip transparansi dan akuntabilitas publik tidak dikurangi, apalagi dalam UU BUMN terbaru dinyatakan bahwa kerugian BUMN bukan kerugian negara,” tegas Afif.
Ia menambahkan bahwa penguatan kewenangan harus sejalan dengan penguatan akuntabilitas dan pengawasan. Negara, katanya, tidak boleh hanya memprioritaskan efisiensi dan fleksibilitas bisnis dalam BUMN, tanpa menjamin adanya kontrol publik yang efektif. Untuk itu ia mendukung sementara pihak yang melakukan uji materi terhadap UU BUMN terbaru.
“Akuntabilitas bukan beban, tapi justru benteng kepercayaan publik. Ketika BUMN menjadi instrumen strategis negara dalam pengelolaan sumber daya, maka pengawasannya harus independen, berkala, dan terbuka,” ujarnya.

Sementara, hadir sebagai praktisi, Ranu Miharja, pensiunan Jaksa Ahli Utama pada Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung, turut mengingatkan bahwa lemahnya pengawasan berkelanjutan membuka peluang bagi tindak pidana korupsi yang semakin kompleks.
Dalam pemaparannya, Ranu menyoroti berbagai modus operandi korupsi terbaru yang banyak ditemukan, mulai dari rekayasa pengadaan, manipulasi kontrak, penyalahgunaan wewenang direksi BUMN, hingga penggunaan teknologi untuk menyembunyikan jejak keuangan.
“Dunia berubah, modus korupsi juga ikut berubah. Kita butuh jaksa yang tidak hanya jujur, tapi juga melek digital, forensik data, dan punya keberanian dalam menindak,” jelas Ranu yang juga pernah menjadi Deputi Penindakan KPK.
Ia juga menyinggung urgensi penguatan kapasitas dan kesejahteraan jaksa sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi. Salah satu usulan kontroversialnya adalah kenaikan gaji jaksa hingga 1000 persen.
“Direksi BUMN bisa bergaji miliaran per bulan, sementara jaksa yang menangani kasus di BUMN justru jauh di bawah itu. Bagaimana kita bisa berharap integritas ketika kesejahteraan mereka timpang? Kenaikan gaji bukan soal kemewahan, tapi investasi moral agar jaksa tidak mudah tergoda,” tegasnya.
Ranu yang mantan Kajati Bangka Belitung ini menambahkan, penegakan hukum tidak bisa hanya mengandalkan idealisme, tetapi juga harus didukung oleh sistem yang adil secara struktural, termasuk dalam hal penghasilan dan jaminan profesionalisme.
Acara yang dihadiri oleh mahasiswa dan dosen ini menjadi momen refleksi atas arah kebijakan negara dalam menjaga keuangan publik.
Disepakati bahwa perang melawan korupsi bukan hanya soal penindakan, tetapi mencakup perbaikan sistemik, penguatan kelembagaan, dan pemberdayaan manusia penegak hukum yang unggul dalam kapasitas, integritas dan karakter.
(Editor Aro)