siginews-Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menekankan pentingnya peran fatwa sebagai mitra pemerintah dalam merumuskan kebijakan negara.
Fatwa MUI hadir tidak hanya untuk mendukung, tetapi juga untuk mengingatkan dan mengoreksi jika ada aturan yang bertentangan dengan prinsip agama demi mewujudkan kemaslahatan umum.
Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa Prof. KH. Asrorun Ni’am Sholeh dalam acara pembukaan Internasional Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9 di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, Sabtu (26/7/2025).
Kegiatan ini diikuti oleh 125 pengkaji, akademisi, dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi, Ma’had Aly, lembaga fatwa Ormas Islam, serta pimpinan dan anggota Komisi Fatwa MUI.
Prof. Ni’am menegaskan bahwa pertemuan ini merupakan wujud sinergi antara kekuatan negara dan agama dalam relasi simbiotik yang saling mendukung untuk mewujudkan kemaslahatan.
Ia mempertanyakan apakah praktik kenegaraan sudah optimal mewujudkan kemaslahatan dan apakah agama sudah optimal menyinari para pemegang kekuasaan.
“Jika terbukti mendatangkan maslahat dan tidak melanggar syariat harus didukung. Fatwa hadir memberi penguatan. Sebaliknya, jika mendatangkan mafsadah, Fatwa hadir mengingatkan dan memperbaiki, dengan komitmen ishlah (perbaikan). Tentu dengan penuh hikmah,” kata Guru Besar Ilmu Fikih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Prof. Ni’am mencontohkan konsentrasi Kabinet Merah Putih terhadap perwujudan kemaslahatan, seperti kebijakan MBG, Sekolah Rakyat, Sekolah Garuda, pemeriksaan kesehatan, dan program populis lainnya, yang wajib hukumnya untuk didukung jika sejalan dengan syariat.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Ni’am juga mengungkit momen penting ketika fatwa MUI berhasil mengoreksi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 43 ayat (1). Undang-undang tersebut mengatur kedudukan anak di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya, yang sejalan dengan fikih Islam.
“Lalu muncul Putusan MK di Februari 2012 yang mengubah norma dengan menetapkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan dengan teknologi. Ini jelas bertentangan dengan fikih,” paparnya.
Meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, Fatwa MUI hadir untuk “men-challenge” dan mengoreksi bahwa anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya. “Fatwa ini kemudian menjadi rujukan hakim Agama,” tegasnya.
Ia menambahkan, pada tahun 2012 MUI telah menetapkan fatwa bahwa wajib hukumnya taat kepada ulil amri (pemegang kekuasaan), namun ketaatan tersebut tidak mutlak dan absolut.
“Begitu ulil amri merumuskan kebijakan, dan tasharufnya (pengelolaannya) untuk kemaslahatan, wajib hukumnya taat. Tapi, ketaatan itu dengan 3 syarat: tasharufnya tidak bertentangan dengan prinsip syariah, berorientasi pada kemaslahatan umum, dan jika terkait dengan substansi keagamaan, maka harus dimusyawarahkan dengan lembaga keagamaan yang berkompeten,” pungkasnya.
Kegiatan ACFS ke-9, yang dibuka langsung oleh Ketua Umum MUI KH. Anwar Iskandar, akan berlangsung hingga Senin, 28 Juli 2025, dengan mengusung tema “Peran Fatwa Dalam Mewujudkan Kemaslahatan Bangsa.”
Sejumlah tokoh penting turut hadir, termasuk Kepala BPKH Fadlul Imansyah, Ketua BAZNAS RI Noor Ahmad, Ketua MK 2003-2008 Jimly Asshidiqie, Hakim Agung Mahkamah Agung Imran Rasyadi, Sekjen Fatwa Darul Ifta Mesir Syeikh Owaidlah Utsman, dan MKI Malaysia Arif Saleh Rosman.
(Editor Aro)