siginews-Jombang – Sementara umumnya perayaan kemerdekaan RI diwarnai dengan beraneka perlombaan dan kreasi budaya, Desa Tinggar, Kecamatan Bandarkedungmulyo, Kabupaten Jombang, memilih cara yang berbeda dan sarat makna.
Pada Ahad (24/8/2025) lalu, warga setempat menggelar syukur atas Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan RI yang bertepatan dengan hari jadi desa ke-150.
Sebagai wujud rasa syukur, warga menyediakan 2.000 porsi makanan gratis yang dibagikan di halaman Kantor Desa Tinggar. Makanan berupa nasi dan lauk pauk tersebut dikemas dan dibagikan langsung oleh para ibu-ibu.
Suasana semakin meriah dengan iringan live music yang dinikmati ribuan warga sembari makan bersama.
“Kami bersyukur atas perjalanan bangsa ini hingga usia ke-80. Kurang lebih dua ribu bungkus nasi kami sediakan untuk dibagikan secara cuma-cuma kepada warga sekitar,” ujar Mohamad Madram, Kepala Desa Tinggar, Senin (25/8/2025).
Madram menekankan bahwa kemerdekaan memiliki arti nyata ketika warga di tingkat desa mampu berdaya secara ekonomi. Esensinya terletak pada kebersamaan untuk membangun desa, baik melalui sektor pertanian maupun usaha lainnya.
“Puncak acara syukuran desa akan digelar pada tanggal 30 Agustus 2025 mendatang dengan carnival budaya,” tambah Madram, yang juga merupakan inisiator terbitnya buku ‘Tinggar Merawat Sejarah’ karya Dian Sukarno pada 2020.
Menurutnya, peringatan hari jadi ke-150 desa ini memiliki akar sejarah yang dalam dan penting untuk disampaikan kepada generasi muda.

Dari “Pohon Mati Sak Igar” hingga Jejak Pasukan Ronggolawe
Nama “Tinggar” sendiri berasal dari sebuah pohon Beringin jenis Iprik yang berukuran sangat besar. Keunikan pohon ini terletak pada kondisinya yang separuh hidup dan separuh lagi mati.
Masyarakat dahulu menyebutnya “pohon mati sak igar”, yang kemudian lama-kelamaan disingkat menjadi “Tinggar”.
“Pohonnya besar dan sangat rindang, dulu berada di sekitar makam Mbah Kitul, sang pembabad (pembuka lahan) Desa Tinggar,” kata Madram.
Asal-usul desa ini juga tidak lepas dari sejarah Kerajaan Majapahit. Konon, pasukan Ronggolawe pernah bersembunyi di wilayah ini untuk menghindari kejaran pasukan Majapahit.
“Akhirnya pasukan Ronggolawe bersembunyi di desa ini, kemudian berkembang menjadi sebuah komunitas atau kelompok masyarakat,” jelas Madram.
Sesepuh komunitas awal tersebut adalah Mbah Kitul dan Nek Tarwihah. Makam keduanya hingga kini masih terpelihara dan dirawat dengan baik oleh warga.
Setelah era Mbah Kitul, pada periode Mataram Islam, dua utusan kerajaan yang bernama Iromoyo dan Iropati datang untuk melakukan “telik sandi” atau penyelidikan di kawasan yang menjadi cikal bakal Desa Tinggar ini.
Dalam misinya, mereka berdua menemukan pohon Beringin Iprik yang batangnya mati separuh itu, yang kelak menamai desa tersebut.
Sepenggal kisah sejarah panjang Desa Tinggar ini terangkum dengan lengkap dalam buku ‘Tinggar Merawat Sejarah’.
(Pray/Editor Aro)