Jombang – Kamis pagi, 23 Januari 2025, keheningan Dusun Bunturejo, Desa Sambirejo, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, pecah oleh gemuruh dahsyat. Tanah longsor menerjang pemukiman, membawa kepanikan dan kenangan yang membekas bagi warganya. Di antara mereka, ada Slamet (51), yang bersama keluarganya berhasil lolos dari maut.
Pagi itu, tak ada tanda-tanda alam yang mengkhawatirkan. Slamet, seperti biasa, memulai aktivitasnya. Namun, tiba-tiba, suara retakan memecah suasana. “Pertama-tama, kretek-kretek langsung gerubyuk, wes langsung melayu,” tutur Slamet dengan logat Jawa, menggambarkan detik-detik menegangkan menjelang longsor. Suara retakan itu dengan cepat berubah menjadi gemuruh yang menakutkan, menandakan longsoran tanah telah bergerak.
Tanpa pikir panjang, Slamet berteriak memperingatkan anggota keluarganya. Bersama enam anggota keluarga, ia berlari tunggang langgang, menyelamatkan diri dari ancaman longsor yang datang tiba-tiba dari perbukitan di belakang rumah mereka. Tidak ada waktu untuk berpikir, tidak ada waktu untuk menyelamatkan harta benda. Yang ada hanyalah insting untuk bertahan hidup. Mereka berlari menuju jalan desa, menjauhi sumber gemuruh yang semakin mendekat.
“Ada 6 orang di rumah saya, Alhamdulillah selamat semua,” ungkap Slamet dengan nada syukur. Keberuntungan masih berpihak padanya dan keluarga. Rumah mereka memang terdampak, namun nyawa mereka berhasil diselamatkan.
Longsor tersebut menerjang setidaknya lima rumah di dusun tersebut, meninggalkan kerusakan yang cukup parah. Beberapa warga lainnya juga mengalami luka-luka, dan bahkan ada yang tertimbun longsor. Tim SAR gabungan segera diterjunkan untuk melakukan pencarian dan evakuasi korban.
Longsor tersebut menerjang setidaknya lima rumah di dusun tersebut, meninggalkan kerusakan yang cukup parah. Beberapa warga lainnya juga mengalami luka-luka, dan bahkan ada yang tertimbun longsor. Tim SAR gabungan segera diterjunkan untuk melakukan pencarian dan evakuasi korban.
Berbeda dengan Slamet yang berhasil menyelamatkan diri bersama keluarganya, Ismail dan keluarganya harus menghadapi kenyataan pahit tertimbun longsoran tanah dan material rumah.
Keluarga Ismail, yang terdiri dari Ismail, istrinya Widyawati, anak sulung Makruf Ismail, dan anak bungsu Nadin, menjadi korban langsung dari dahsyatnya longsor. Slamet, tetangga mereka, menceritakan detik-detik sebelum kejadian.
Pagi itu, ia melihat anak-anak Ismail sedang bersiap untuk berangkat sekolah. Sementara Ismail sendiri, keberadaannya sesaat sebelum longsor terjadi tidak diketahui pasti oleh Slamet. “Anaknya mau berangkat sekolah, mungkin sarapan, ada kejadian itu tadi,” tutur Slamet dengan nada bergetar, masih menyimpan trauma atas kejadian yang baru saja disaksikannya.
Naas menimpa keluarga Ismail. Ismail dan anak bungsunya, Nadin, masih tertimbun di dalam rumah yang hancur diterjang longsor. Sementara Widyawati dan Makruf Ismail berhasil diselamatkan, meskipun sempat tertimbun material longsor. Keduanya mengalami luka berat dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jombang untuk mendapatkan perawatan intensif.
Kesedihan mendalam dirasakan oleh warga sekitar. Slamet, dengan raut wajah sedih, mengungkapkan, “Dua belum ditemukan, Pak Ismail sama anaknya, di dalam rumah.” Pencarian terus dilakukan oleh tim SAR gabungan dengan harapan dapat segera menemukan Ismail dan Nadin.
Informasi yang beredar sebelumnya menyebutkan jumlah korban ada lima orang. Namun, menurut informasi yang dihimpun, sebenarnya korban berasal dari satu keluarga, yaitu keluarga Ismail. Dengan demikian, dapat dipastikan korban berjumlah empat orang: dua orang luka berat (Widyawati dan Makruf Ismail), satu orang meninggal dunia (kemungkinan Nadin, menunggu konfirmasi resmi setelah ditemukan), dan satu orang masih dalam pencarian (Ismail).
Slamet juga menambahkan informasi penting terkait kondisi di lokasi sebelum terjadinya longsor. Ia mengungkapkan bahwa tahun lalu, tanah di atas bukit belakang rumah Ismail sudah menunjukkan tanda-tanda keretakan. “Sudah ambles, ada setengah meter, ditambah hujan dua hari berturut-turut,” imbuhnya. Hal ini mengindikasikan adanya potensi longsor yang telah terdeteksi sebelumnya, diperparah oleh curah hujan yang tinggi dalam beberapa hari terakhir.
Tragedi yang menimpa keluarga Ismail menambah duka yang mendalam atas bencana longsor di Wonosalam. Kisah ini menjadi pengingat betapa pentingnya kewaspadaan terhadap potensi bencana alam dan perlunya upaya mitigasi yang lebih baik di daerah rawan longsor.
Kisah Slamet dan Ismail adalah secuil gambaran dari dahsyatnya bencana longsor di Wonosalam. Kisah tentang kepanikan, ketakutan, namun juga tentang keberuntungan, kebersamaan dan kedukaan dalam. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat setempat untuk lebih waspada terhadap potensi bencana alam, terutama di musim penghujan.
(Pray/editor Aro)