siginews – Jakarta – Kebijakan tarif impor baru yang diterapkan Amerika Serikat (AS) berpotensi memicu serangkaian tindakan balasan dari negara-negara lain.
Presiden AS, Donald Trump, menetapkan tarif timbal balik untuk lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia. Indonesia dikenakan tarif 32%, lebih tinggi dari Malaysia (24%) dan Filipina (17%), namun lebih rendah dari Thailand (36%). Kamboja dan Laos memiliki tarif tertinggi di ASEAN, masing-masing 49% dan 48%.
Perang tarif ini berpotensi menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah hingga menembus level Rp 17.000 per dolar AS dalam waktu dekat. Hal ini dapat memicu inflasi tinggi, krisis fiskal, dan ketidakstabilan ekonomi secara keseluruhan. Kondisi ini mengingatkan pada krisis ekonomi tahun 1998, yang berujung pada reformasi politik dan sosial yang mendalam.
Analis ekonomi, Anthony Budiawan, dari Political Economy and Policy Studie (PEPS), menilai bahwa eskalasi perang tarif ini dapat berdampak signifikan pada perdagangan dunia, dengan risiko resesi ekonomi global yang mengingatkan pada krisis tahun 1930-an.
“Kebijakan ini sangat berbahaya. Jika negara-negara lain membalas dengan menaikkan tarif impor mereka, maka perdagangan dunia akan mengalami kontraksi yang signifikan,” ujar Anthony Budiawan, Kamis (3/4/2025).
Lanjutnya, “Kita berisiko mengulangi kesalahan fatal seperti yang terjadi pada tahun 1930-an, di mana perang tarif memicu depresi ekonomi global.”
Selain itu, ia menjelaskan bahwa kenaikan tarif impor AS akan meningkatkan biaya perdagangan, mengurangi daya saing produk-produk impor, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. “Efek domino dari kebijakan ini akan sangat merugikan bagi semua negara, termasuk AS sendiri,” katanya.
Anthony menyerukan kepada pemerintah AS untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mengutamakan kerja sama multilateral dalam perdagangan internasional.
“Kita membutuhkan dialog dan negosiasi yang konstruktif untuk mengatasi masalah perdagangan, bukan perang tarif yang hanya akan merugikan semua pihak,” tegasnya.
Kebijakan ini berpotensi memicu resesi global, kejatuhan pasar saham, dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
“Ketika prospek ekonomi global semakin suram, pasar saham di berbagai negara akan mengalami penurunan tajam. Kita sudah melihat dampaknya hari ini, dengan bursa saham Jepang anjlok lebih dari 3 persen dan Hong Kong minus 1,6 persen,” ujar Anthony.
Lebih lanjut, Anthony menjelaskan bahwa kebijakan tarif impor AS akan menyebabkan pengetatan likuiditas global dan arus modal keluar (capital outflow) dari negara-negara berkembang.
“Para investor akan cenderung menyimpan uang tunai dan menahan investasi mereka, yang akan semakin menekan nilai tukar rupiah. Dalam waktu dekat, rupiah berpotensi menembus level Rp 17.000 per dolar AS,” katanya.
Dalam kondisi seperti ini, Anthony menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk fokus pada penguatan ekonomi domestik.
“Indonesia perlu meningkatkan produksi dan konsumsi dalam negeri, serta mengurangi ketergantungan pada impor. Kita harus bersiap menghadapi kemungkinan penurunan harga komoditas, yang dapat berdampak buruk pada penerimaan negara dan memicu krisis fiskal,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi diri dari dampak negatif kebijakan tarif impor AS.
“Kita harus memperkuat daya saing produk-produk dalam negeri, meningkatkan investasi di sektor-sektor strategis, dan menjaga stabilitas makroekonomi,” katanya.
Kebijakan tarif impor AS ini telah memicu reaksi keras dari berbagai negara, yang mengancam untuk mengambil tindakan balasan. Para analis ekonomi memperingatkan bahwa perang tarif global dapat menyebabkan penurunan tajam dalam perdagangan dunia, inflasi yang tinggi, dan resesi ekonomi global.
(Editor Aro)