Oleh : Mawardi Abu Thoriq
Siginews – Siang itu, usai menghadiri kebahagiaan di sebuah mantenan di Pesantren Krapyak Mayong Sidomlangean Kedungpring Lamongan, langkah kaki ini terayun menuju sebuah SMA Swasta (nama sengaja kuselubungi, demi menjaga kehati-hatian).
Di sana, sosok Bapak Kepala Sekolah menyambut, bukan dengan gegap gempita khas sekolah ramai, melainkan dengan peluh di dahi, bahu membungkuk di antara tumpukan material renovasi.
Waktu dhuha telah lama berlalu, namun ia masih berjibaku membenahi “sekolah tercinta” bersama seorang tukang.
“Inilah sekolah tercinta kami,” ucapnya lirih, mungkin sisa lelah semalam berbagi cerita dengan penulis.
Sebuah pertemuan silaturahmi yang hangat di pondok, dilanjutkan kerja keras tanpa jeda. “Alhamdulillah sekolahnya besar dan strategis. Tinggal dirawat bersama,” jawabku, mencoba meredakan gurat beban psikologis yang terasa pekat.
Tujuh murid, hanya tujuh nyawa yang mengisi ruang-ruang belajar setiap harinya. Sebuah ironi mengingat lokasinya yang jauh lebih strategis dibanding sekolah swasta lain yang pernah kurangkul.
Memasuki gerbang SMA Swasta, memori tentang jejak perjuangan yang pernah terukir di sana menyeruak.
Masa keemasan di rentang 1975 hingga 90-an seolah berbisik dari sudut-sudut bangunan. Namun, siang itu, tak ada lagi riuh rendah seragam putih abu-abu, tak ada lagi derap langkah kaki pemuda bersemangat, tak ada lagi tawa dan kejar-kejaran di lapangan.
Tamu yang datang hanya akan disambut sunyi, dipecah sesekali oleh suara binatang dari tepian sungai. Bahkan lantunan ayat suci pun tak terdengar, menambah pilu suasana.
Dalam hati, kekaguman dan kebanggaan membuncah untuk Bapak Kepala Sekolah. Sebuah rasa yang tak tega kuucapkan lantang.
Namun, kejujuran menuntutku mengakui, “Anda tulus ikhlas berkhidmad, meski potensi SMA Swasta masih membisu.”
Di ruang tamu sederhana, segelas air putih tersaji. Bapak Kepala Sekolah ditemani seorang yang setia mendampingi, melanjutkan untaian kisah yang terputus semalam.
Setiap katanya menambah kedalaman pemahamanku. “Semoga ada solusi untuk sosok yang ikhlas berkhidmad ini,” bisik harapanku dalam hati.
Sosok yang berdedikasi ini telah menunaikan tugasnya dengan segenap kemampuan. Sebuah video profil sekolah yang apik telah ia ciptakan.
Penataan lingkungan sekolah agar kembali layak dan membanggakan terus ia upayakan. Senyum tipisnya menyimpan asa saat bermusyawarah tentang langkah-langkah menuju sekolah yang lebih baik, sekecil atau sebesar apapun langkah itu.
Baginya, getirnya perjalanan tak berarti, hanya pengabdian tulus yang menjadi kompas. “Anda telah ikhlas berkhidmad. Semoga tetap teguh di saat gelombang ombak selalu membersamai perjalanan Anda,” doaku lirih.
Duduk di kursi tamu, tatapannya menerawang ke masa depan, namun kecemasan masih bersembunyi di balik sorot matanya. “Apa yang mampu kuberbuat di sini? Bersama siapa kuharus berlari?” pertanyaan-pertanyaan itu seolah berputar di benaknya.
Waktu menunjukkan pukul dua siang. Pamit segera harus kuucapkan, haul dan istighlal di Tulungagung menanti malam nanti.
Sambil berjabat tangan, doa tulus kupanjatkan dalam hati, “Semoga semua yang pernah menjadi bagian dari SMA Swasta ini melimpahkan doa keberkahan.
Semoga ada hati yang tergerak mengulurkan tangan dan melangkahkan kaki. Semoga empati bersemayam dalam doa para pengurus yayasan, guru, dan alumni.”
Langkah Bapak Kepala Sekolah mengiringiku hingga kendaraan. Masih banyak cerita yang ingin ia bagikan, namun waktu memanggilku untuk menyambut tamu di rumah Tulungagung. “Semoga Gusti Allah Ta’ala memberkati khidmad Anda,” doaku, mencoba menyemangatinya.
Sepanjang perjalanan menuju Tulungagung, ada rasa bersalah yang menghimpit. Kehampaan terasa begitu nyata di tengah kesendirian Bapak Kepala Sekolah.
“Mengapa saya tega, tergesa-gesa pulang?” gumamku dalam hati, menyadari betapa kecilnya kontribusi yang kubawa di tengah besarnya harapan yang terpancar dari tatapannya.
Tulungagung, IMR, Ahad 13-4-2025
(Editor Aro)