siginews-Surabaya – Kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk melakukan pengadaan katrid TCM Tubercolosis (TBC) dengan penunjukan langsung diduga kuat melanggar aturan lelang hingga diduga ada indikasi permainan harga. Pasalnya, Cepheid selaku pabrikan katrid sudah menurunkan harga, namun harga kontrak tidak berubah, sehingga ada kelebihan anggaran yang diduga dipermainkan oleh oknum di Kementerian Kesehatan.
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Sipil(FKMS), menyatakan bahwa pengadaan katrid TCM TBC dipenuhi banyak masalah. Selain adanya ganti kebijakan, ganti sumber dana dan yang lebih penting ganti siapa yang belanja?.
“Kami menduga kuat bahwa pengadaan ini ada jutaan dolar yang mengalir ke oknum tertentu di Kemenkes,” ujar Sutikno kepada siginews.com di Surabaya, Sabtu (10/5/2025).
Jebolan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini lantas menguraikan bahwa sejak awal tahun 2023 sudah terdengar kabar bahwa Cepheid akan menurunkan harga, namun waktunya yang belum pasti.
“Ada gerakan di Amerika nama gerakannya ‘time for $5’ yang diinisiasi oleh Medicins Sans Frontieres (MSF). Gerakan ini menuntut Cepheid dan Danaher( Induk perusahaan Cepheid) untuk menururnkan harga Catrid TCM untuk Tubercolosis sebesar hanya $5. Sebuah harga yang wajar berdasarkan harga produksi dan keuntungan wajar yang telah diteliti oleh MSF. Gerakan ini berhasil memaksa Cepheid untuk melakukan revisi harga, sekalipun belum sesuai harapan MSF,” ujarnya.
Pada tahun 2023, harga satu unit sebesar $9,98, harga ini berlangsung sampai 19 September 2023. Waktu itu Cepheid menyatakan bahwa harga katrid TCM turun menjadi $7,97. Akan tetapi beberapa minggu sebelum harga turun pihak Kemenkes telah mencapai kesepakatan dengan Cepheid seharga $8,3, untuk jumlah pembelian sekitar 1,9 juta unit.
“Adanya penurunan harga tidak membuat Kemenkes melakukan negosiasi ulang untuk menurunkan harga pembelian dan tetap memakai harga $8,3. Ibarat pedagang, siapa mau kehilangan keuntungan gede,” kata Sutikno sambil tertawa.
Bila sebagai pedagang mungkin hal itu berkah, namun dalam pemerintahan hal tersebut wajib dikembalikan kepada negara, bila tidak ada pengembalian bisa dikatakan sebagai korupsi.
Lebih jauh Sutikno mengatakan, bila prosentase penurunan harga dari $9,98 ke $8,3 sebesar 16,8% dipakai acuan, maka seharusnya harga pembelian itu sebesar $6,6 2. Harga ini masih diatas harga biaya produksi versi MSF (Medicins Sains Frontiers). Lantas berapa cuannya kemenkes?
Paling jelek dengan harga kontrak $8,3 dan harga jual Cepheid $7,97, maka selisih untuk setiap katrid sebesar $0,33. Bila pembelian 1,9 unit maka selisihnya sekitar $627.000, (4% dari nilai kontrak).
“Nilai $627.000 ini sudah pasti tidak dibayarkan ke Cepheid, mereka bisa bermasalah dengan Internal Reveneu Service (IRS) atau kantor pajaknya Amerika, bisa geger negara paman sam,” ujarnya serius.
Namun tidak menutup kemungkinan Kemenkes mendapat potongan harga menjadi $6,62. Bila harga ini yang terbentuk maka selisihnya sebesar $1,78 per unit. Sehingga cuannya sebesar $2,848 juta atau sekitar Rp 46,9 Miliar ( 21% dari nilai kontrak). Lantas kemana dolar itu mengalir?
Namun melihat apa yang selama ini terjadi, tentunya dana itu tidak menutup kemungkinan mengalir ke pemegang kebijakan ini.
Perlu diingat bahwa untuk pembelian katrid TCM ini seluruhnya memakai dana hibah dari Global Fund. Dimana lembaga ini juga mensyaratkan bahwa pelaksanaan dana hibah juga mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan bebas dari korupsi.
Lantas mengapa perilaku ambil untung ini tidak menjadi masalah? Bahkan dalam kurun waktu 2023-2027 Indonesia mendapat kucuran dana hibah Global Fund sebesar USD 126 Juta atau setara sekitar Rp 2,3 Triliun.
“Artinya kalau sudah ketemu uang kelakuan bisa macam-macam,” jelas Sutikno.
Sementara itu, pihak dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah dikonfirmasi, namun tidak memberikan respon.
(jrs)