siginews-Jombang – Bulan Suro selalu membawa rezeki melimpah bagi Sudahri (55), perajin warangka keris asal Desa Miagan, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang. Sejak memulai usahanya pada tahun 2009, momen sakral ini menjadi puncak kesibukan tahunannya.
Dalam tradisi Jawa, Bulan Suro identik dengan ritual pembersihan pusaka keris atau yang dikenal sebagai penjamasan. Selain itu, banyak pemilik pusaka juga memilih untuk mengganti warangka keris yang sudah usang atau rusak.
Tradisi inilah yang membuat pesanan warangka keris kepada Sudahri melonjak drastis, jauh melampaui hari-hari biasa. Sudahri pun merasakan langsung berkah dari ritual pembersihan pusaka di Bulan Suro ini.
“Biasanya sehari paling banyak saya buat 7 sampai 8 warangka. Tapi kalau masuk bulan Suro, jumlah pesanan bisa melonjak sampai 25 warangka per hari. Jadi, semuanya harus antre,” ucapnya saat ditemui di lapaknya yang berada di Pasar Loak Mojotrisno, Mojoagung, Selasa (24/6/2025).
Kenaikan permintaan bahkan mulai terasa sejak akhir Mei. Awal Juni menjadi awal lonjakan pesanan yang terus berlangsung hingga sepekan setelah malam 1 Suro. Sudahri mengatakan, saat ini ia telah menyelesaikan puluhan pesanan yang akan diambil oleh para pemiliknya dalam beberapa hari ke depan.
Bahkan, sejumlah pelanggan tidak hanya memesan warangka, tetapi juga meminta jasa penjamasan terlebih dahulu. Biasanya, sebelum proses penjamasan dilakukan, Sudahri akan membawa keris tersebut pulang untuk mengadakan bancakan sebagai bentuk doa keselamatan.
“Ada juga yang minta kerisnya dijamas dulu. Itu harus saya bawa pulang dan diadakan bancakan agar aman dan sesuai tradisi,” ungkapnya.
Selama masa sibuk di bulan Suro, penghasilannya bisa menembus angka Rp10 juta. Namun di luar bulan tersebut, pendapatannya bervariasi, mulai dari Rp1,5 juta hingga Rp5 juta, tergantung pada jumlah pesanan dan penjualan keris antik yang tergolong barang koleksi.
Ia menerima berbagai pesanan bentuk warangka seperti gayaman, ladrang, galih asem, dan kayu kembang. Namun menurutnya, jenis pelokan menjadi favorit di kalangan kolektor karena cocok untuk keris jenis tilam. Selain itu, beberapa pelanggan juga menyukai warangka betok untuk keris sandang walikat.
Pembuatan warangka tidak selalu mudah. Sudahri mengakui bahwa warangka ladrang menjadi salah satu yang paling menantang karena membutuhkan kayu dengan ketebalan khusus dan desain yang rumit.
“Warangka ladrang cukup sulit dibuat. Minimal kayu harus 6 sentimeter tebalnya, dan modelnya juga penuh lengkungan,” ujarnya.
Dalam sehari, ia menargetkan menyelesaikan minimal empat warangka, tergantung tingkat kerumitan desain. Pelanggannya pun berasal dari berbagai daerah di luar Jombang seperti Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Mojokerto, Sidoarjo, hingga Surabaya.
Harga warangka yang ia buat sangat bervariasi, tergantung bahan dan detail pengerjaannya. Warangka dari kayu langka seperti timoho dan cendana bisa dihargai tinggi, bahkan mencapai Rp17 juta per buah. Sementara warangka standar dari kayu kembang bisa dibanderol mulai dari Rp150 ribu.
Selain membuat warangka, Sudahri juga menyediakan layanan perawatan pusaka secara menyeluruh, mulai dari penjamasan, perbaikan, hingga marangi atau pemberian warangan, agar pamor keris tetap terjaga dan terlihat jelas.
(Pray/Editor Aro)