siginews-Jember – Seribu hari setelah malam kelabu 1 Oktober 2022, luka Tragedi Kanjuruhan masih menganga, Tragedi yang menewaskan 135 orang dan melukai ratusan lainnya.
Di Jember, berbagai elemen masyarakat, aktivis, korban, dan simpatisan berkumpul dalam “Doa Bersama dan Nonton Bareng” untuk bukan hanya mengenang, tetapi juga meneguhkan tuntutan keadilan yang terasa begitu jauh, Jumat (27/6).
Acara ini bukan sekadar sebuah peringatan; ini adalah panggung opini, sebuah deklarasi bahwa kebenaran takkan bisa dibungkam selamanya.
“Film ini bukan sekadar dokumenter, tapi pengingat bahwa keadilan adalah harga yang paling mahal,” ujar moderator, membuka diskusi pasca-pemutaran film yang memperlihatkan kembali kengerian malam itu.
Dan memang, keadilan seringkali terasa begitu mahal, bahkan tak terjangkau, bagi mereka yang menjadi korban.
Kesaksian Pilu, Tuntutan Nyata
Dua korban asal Jember, laki-laki dan perempuan, yang menjadi saksi hidup tragedi memilukan itu, hadir untuk berbagi kisah. Suara mereka, mewakili Aremania Jember, adalah gema dari ribuan suara yang merasakan hal serupa: ketiadaan keadilan.
Mereka menyoroti betapa mandeknya proses hukum, dan satu hal yang jelas: Aremania tidak akan tinggal diam. Ini adalah pernyataan sikap, sebuah janji bahwa perjuangan akan terus berlanjut.
Kritik Tajam untuk Aparat dan Manajemen: Pelanggaran Jelas, Impunitas Menganga
Kritik pedas tak terhindarkan. Perwakilan aktivis hukum dari GMNI dengan tegas menyatakan bahwa proses hukum Tragedi Kanjuruhan penuh dengan kecacatan formil. Dari rekonstruksi korban hingga kesaksian, semua terasa janggal.
Sorotan tajam dialamatkan pada aparat kepolisian yang dinilai tidak mengikuti prosedur pengendalian massa sesuai PERKA POLRI, langsung melompat ke penggunaan gas air mata.
“Sudah jelas-jelas melanggar kode etik kepolisian. Harusnya mereka dipecat, bukan dilindungi,” tukas Gloria dari GMNI Hukum.
Pernyataan ini bukan hanya kritik, tapi sebuah jeritan atas ketidaktegasan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan.
Tak hanya aparat, manajemen klub juga tak luput dari sorotan. Seorang aktivis senior dari Balai RW Institute, Pak Istono, menyoroti kelalaian panitia dan manajemen klub yang disebutnya ceroboh dalam perencanaan dan mengabaikan keselamatan.
“Kerusuhan harusnya bisa diprediksi. Pintu stadion seharusnya dibuka sebelum pertandingan usai,” ujarnya.
Ini adalah bukti nyata bahwa Tragedi Kanjuruhan bukan sekadar insiden, melainkan rentetan kelalaian sistematis yang berujung pada hilangnya nyawa.
Renovasi: Pengaburan Sejarah, Bukan Solusi
Langkah pemerintah merenovasi Stadion Kanjuruhan juga menuai cibiran. Banyak yang berpendapat, termasuk moderator acara, bahwa renovasi tersebut hanyalah pengalihan isu.
Sebuah upaya untuk menghapus jejak tragedi, sementara para pelaku kekerasan dan penanggung jawab utama masih bebas berkeliaran. Apakah pembangunan fisik bisa menghapus luka batin dan memulihkan keadilan yang dirampas? Tampaknya tidak.
Impunitas Harus Dilawan: Keadilan Belum Datang, Perlawanan Belum Selesai
Dira dari Pembaru Jember membawa perspektif yang lebih luas, menyoroti pola kekerasan negara dan impunitas sebagai isu besar yang tak hanya terjadi di Kanjuruhan.
Ia menyebut tragedi Kanjuruhan sebagai salah satu dari banyak pola kekerasan terencana negara.
“Negara lebih berpihak pada pasar dan elit politik daripada rakyat,” tegasnya.
Acara “Doa Bersama dan Nonton Bareng” ini menjadi bukti nyata bahwa suara korban tidak akan padam. Masyarakat sipil akan terus menyuarakan kebenaran, menuntut akuntabilitas, dan melawan impunitas. Para peserta menyepakati bahwa:
1. Negara belum bertanggung jawab secara penuh.
2. Pelaku masih dilindungi.
3. Korban dan keluarga tetap berduka tanpa kejelasan hukum.
Penulis: Dira Pembaru Jember
(Editor Aro)