siginews-Jakarta – Dibalik gema pidato pembangunan dan ambisi ekonomi nasional yang dikatakan setiap para pejabat pemerintah, ratusan dengan suara lantang dari Koalisi Anti Proyek Strategis Nasional (PSN) mengoyak hiruk-pikuk ibu kota.
Pada Selasa (22/7/2025), massa gabungan organisasi ini menggelar aksi protes di depan Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian RI, menyuarakan keprihatinan mendalam atas serangkaian dampak negatif yang diklaim menimpa masyarakat di berbagai kawasan PSN.
Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, melainkan refleksi atas janji-janji pembangunan yang seringkali menyisakan luka.
Koalisi Anti Proyek Strategis Nasional (PSN) menyoroti tiga permasalahan utama yang dianggap sebagai dampak negatif dari implementasi PSN:
1. Mandalika: Pantai Indah yang Terenggut, Ribuan Jiwa Kehilangan Sandaran
Salah satu sorotan utama Koalisi adalah tragedi penggusuran 186 warung di sepanjang Pantai Tanjung Aan, jantung Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Sebuah kawasan yang digadang-gadang sebagai destinasi pariwisata super prioritas, kini menyisakan cerita pilu.
Penggusuran yang berlangsung selama tiga hari itu bukan hanya melibatkan sekitar 700 personel aparat gabungan dari kepolisian, TNI, dan Satpol PP, tetapi juga disinyalir “ratusan orang tak dikenal” yang diduga sebagai preman bayaran.
Efek dari tindakan ini sangat terasa. Ribuan orang yang selama ini menggantungkan hidupnya pada ekosistem pantai, mulai dari pemilik warung, pelayan, tukang parkir, hingga pemandu wisata tiba-tiba kehilangan sumber pendapatan mereka. Kemegahan pariwisata yang dijanjikan PSN, rupanya, datang dengan harga sosial yang mahal.

2. Bantaeng: Buruh Tercekik di Tengah Kilau Hilirisasi Nikel
Persoalan buruh di PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), sebuah PSN hilirisasi industri nikel, menjadi poin krusial kedua.
Aksi blokade dan pemogokan buruh dipicu oleh gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan secara sepihak dan tanpa negosiasi. Angka yang terungkap cukup mengkhawatirkan: 81 buruh telah di-PHK, 350 dirumahkan, dan 600 lainnya menghadapi ancaman serupa.
Lebih jauh, koalisi juga membongkar sistem pengupahan yang dinilai eksploitatif. Selama lima tahun, buruh tak kunjung menerima upah lembur, dan upah pokok yang ditetapkan berada di bawah Upah Minimum Provinsi.
Meski blokade telah berlangsung 11 hari, suara buruh belum mendapatkan respons yang memuaskan dari perusahaan maupun pemerintah. Hal ini mempertanyakan komitmen PSN dalam menciptakan kesejahteraan bagi pekerja lokal.

3. Halmahera: Suara Lingkungan yang Dibungkam Kriminalisasi
Di Halmahera, gelapnya wajah PSN terlihat dari gelombang kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan yang berani menyuarakan kritik. Mereka mengkritisi perusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan nikel di Kawasan Indonesia Wedabay Industrial Park (IWIP), yang juga merupakan bagian dari daftar PSN.
Kriminalisasi ini, menurut Koalisi, bukanlah insiden terisolir. Sebelumnya, 11 masyarakat adat Maba Sangaji juga mengalami intimidasi dan teror yang berujung pada penjeratan hukum, hanya karena menolak perampasan tanah, penggusuran rumah, dan perusakan lingkungan atas nama pembangunan.
Narasi Kontroversi: PSN sebagai Legitimasi Pelanggaran HAM?
Saiful Wathoni, Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), yang turut berada di barisan Koalisi, menyampaikan orasi yang menohok.
Ia menyatakan, “PSN dalam praktiknya hanya menjadi legitimasi bagi para pemilik modal untuk melakukan perampasan tanah, penggusuran rumah, perusakan alam dan lingkungan, bahkan eksploitasi tenaga kerja hingga kriminalisasi.”
Wathoni mengecam keras bahwa di satu sisi pemerintah gencar mempromosikan kemegahan PSN, namun di sisi lain “abai terhadap hak-hak rakyat yang terampas.”
Yang lebih disayangkan, imbuhnya, “justru negara selalu menjadi aktor paling depan membela kepentingan para pengusaha besar dengan menerjunkan aparat kepolisian dan tentaranya sebagai garda terdepan penebar teror dan ketakutan bagi rakyat yang tengah berjuang mempertahankan haknya.”
Ia bahkan dengan tegas menyatakan, “Tidak ada satu pun PSN di Indonesia yang tidak memiliki catatan pelanggaran HAM, sebabnya kebijakan atas PSN harus dievaluasi untuk segera dicabut.”
Aksi Ricuh, Tuntutan Tegas Menggema
Aksi yang awalnya berjalan tertib itu sempat memanas dan ricuh ketika aparat kepolisian berusaha membubarkan massa dengan alasan tidak adanya surat pemberitahuan.
Setelah negosiasi yang alot, massa aksi akhirnya membubarkan diri, namun tidak sebelum membacakan pernyataan sikap dengan tuntutan yang jelas:
1. Evaluasi menyeluruh Proyek Strategis Nasional dengan melibatkan partisipasi aktif rakyat terdampak.
2. Pemulihan hak rakyat Mandalika untuk mengelola pantai secara mandiri, dengan PT ITDC bertanggung jawab penuh atas kerugian yang diderita.
3. PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) harus segera memenuhi seluruh tuntutan buruh, termasuk pemulihan status kerja dan pembayaran upah.
4. Penghentian segera kriminalisasi aktivis dan rakyat yang menyuarakan hak-hak mereka di kawasan PSN.
Aksi ini menjadi pengingat keras bahwa pembangunan, seberapapun strategisnya, harus selalu menempatkan kesejahteraan dan hak asasi manusia sebagai prioritas utama.
Suara-suara dari Mandalika, Bantaeng, dan Halmahera, kini menggema di ibu kota, menuntut keadilan di balik tirai kemegahan Proyek Strategis Nasional.
Oleh: Saiful Wathoni, Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
(Editor Aro)