siginews-Jakarta – Kehadiran Danantara, entitas baru yang digagas untuk mengelola aset negara, menuai sorotan tajam dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi VI DPR, Mufti Anam, secara blak-blakan mengungkapkan kekhawatiran terkait pengelolaan keuangan dan potensi hilangnya kontrol DPR atas aset negara.
Mufti Anam, yang awalnya skeptis namun kini optimistis setelah mengikuti serangkaian Focus Group Discussion (FGD) bersama Doni Oskar, memuji terobosan dan ide genuin yang dipaparkan, termasuk solusi penyelesaian utang kereta cepat dan restrukturisasi KUR.
Namun, ia juga mengutip kritik dari rekannya, Sarmuji, yang menyoroti kegagalan proyek BUMN berbanding terbalik dengan kesuksesan swasta.
“Sesuatu yang diusahakan oleh BUMN seringkali gagal dan merugi, Pak. Tapi kemudian kalau itu dikerjakan oleh swasta justru untung dan sukses besar,” ujar Mufti, Rabu 23/7) di Gedung DPR RI.
Anam menambahkan dan mencontohkan industri farmasi pasca-pandemi dan sektor properti.
Dividen BUMN dan Pengawasan Keuangan Danantara
Kritik utama Mufti Anam adalah pengalihan dividen BUMN kepada Danantara, yang menurutnya bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua penerimaan negara harus masuk dalam APBN dan dibahas bersama DPR.
“Deviden BMN adalah hak negara, hak rakyat, dan wajib dicatat dalam APBN. Tapi hari ini praktik yang terjadi adalah deviden itu tidak lagi masuk ke kas negara, tidak lagi dikelola oleh Kementerian Keuangan, tapi dialihkan ke Danantara, Pak,” tegasnya.
Mufti Anam mempertanyakan mekanisme check and balance jika Danantara tidak lagi berkewajiban melaporkan penggunaan dividen ke DPR.
“Siapa ke depan yang akan melakukan check and balance terhadap semua yang dilakukan oleh Danantara, Pak? Apakah kemudian seperti yang disampaikan oleh Pak Rosan tadi akan dilaporkan kepada Presiden? Jelas mustahil kalau setiap transaksi keuangan yang dilakukan oleh Danantara dilaporkan kepada Presiden karena Presiden urusannya sangat kompleks,” jelasnya.
Ia khawatir, niat mulia Danantara justru akan menjadikannya “negara dalam negara” dalam pengelolaan keuangan, yang berdampak pada hilangnya pemasukan negara dan memicu kebijakan pajak yang membebani rakyat, seperti pajak UMKM online hingga potensi pajak amplop kondangan.
Utang Jumbo dan Nasib Aset Strategis Bangsa
Selain dividen, Mufti Anam juga menyoroti rencana Danantara mengajukan utang 10 miliar US dolar (sekitar Rp150 triliun) kepada bank asing dalam bentuk multicurrency. Ia mengaku kaget, sebab Danantara seharusnya mengoptimalkan investasi dari dana yang sudah ada.
“Kami hanya mengingatkan jangan sampai pinjaman 10 miliar dolar itu tidak menggunakan jaminan-jaminannya terkait aset bangsa,” ujarnya.
Lanjutnya, “Apa jaminan yang diberikan Danantara untuk meminjam 10 miliar US dolar yang ini menjadi salah satu pinjaman terbesar di Asia Tenggara?”
Mufti Anam mengingatkan Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa aset-aset strategis bangsa harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk digadaikan.
Transparansi dan Tupoksi yang Jelas
Meskipun mengapresiasi transformasi BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir dan kecerdasan Doni Oskar yang menguasai data BUMN, Mufti Anam mendesak Danantara untuk tetap on the track. Ia meminta tupoksi Danantara dan Kementerian BUMN diperjelas untuk menghindari blame shifting jika terjadi kegagalan.
“Jangan sampai ada istilahnya jas merah, Pak. Jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah. Itu pesan dan ajaran penting dari para founding father kita,” pungkasnya, mengkritisi perubahan logo dan promosi yang seolah menghilangkan jejak BUMN.
Komisi VI DPR berjanji akan terus mengawal agar uang rakyat kembali kepada rakyat, dan setiap rupiah dividen yang dialihkan dapat dipertanggungjawabkan serta diaudit demi harapan seluruh elemen bangsa.
(Editor Aro)