siginews-Bantaeng – Aksi blokade di gerbang Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) telah memasuki hari ke-14, menandai dua minggu penuh perjuangan buruh melawan praktik kerja yang mereka anggap tidak adil dari PT. Huadi Nickel Alloy.
Selama periode ini, buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Pertambangan & Energi (SBIPE) KIBA, dengan dukungan penuh dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bulukumba, telah menghadapi berbagai rintangan, mulai dari perundingan alot, intimidasi bersenjata tajam, hingga upaya pembubaran paksa oleh puluhan aparat kepolisian dan TNI.
Mengapa Buruh Memblokade? Jam Kerja Ekstrem dan Badai PHK Jadi Pemicu
Alasan utama di balik aksi blokade ini adalah serangkaian dugaan perampasan hak-hak buruh oleh PT. Huadi. Para buruh menuding perusahaan menerapkan sistem kerja yang eksploitatif dan tidak sesuai aturan.
Mereka dipekerjakan selama 12 jam per hari untuk 5 hari seminggu (sistem shift), atau bahkan 10 jam per hari selama seminggu penuh tanpa hari libur (sistem reguler).
Parahnya, jam kerja yang melebihi standar normal 7 atau 8 jam per hari ini tidak dihitung sebagai lembur, artinya hak upah lembur buruh tidak diberikan perusahaan sejak lama.
Selain itu, badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal juga menjadi pemicu kemarahan buruh. Sejak Desember 2024 hingga Mei 2025, tercatat 81 buruh telah di-PHK tanpa diberikan hak pesangon.
Situasi diperparah pada 25 Juni 2025, ketika PT. Huadi mengumumkan kebijakan baru yang akan merumahkan 950 buruh. Kebijakan ini dinilai tidak diatur dalam regulasi ketenagakerjaan manapun dan, yang lebih parah, dilakukan tanpa perundingan dengan buruh maupun serikat, hanya disosialisasikan secara lisan kepada para leader tanpa dokumen administratif resmi.
Karena berbagai masalah ini, SBIPE KIBA memutuskan untuk memblokade rencana ekspor terakhir feronikel milik PT. Huadi. Mereka bersikukuh menahan ekspor tersebut karena menganggapnya sebagai hasil dari keringat buruh yang dihisap perusahaan. Buruh bersepakat untuk menghalangi ekspor feronikel sebelum perusahaan memenuhi hak-hak mereka.
Solidaritas FMN Bulukumba: Perjuangan Buruh adalah Perjuangan Bersama
FMN Bulukumba tidak tinggal diam melihat kondisi ini. Mereka telah dua minggu membersamai buruh KIBA di tenda pendudukan, menunjukkan dukungan penuh terhadap perjuangan mereka.
Awal, Koordinator FMN Bulukumba, menyatakan bahwa bagi FMN, kelas buruh adalah kelas yang memiliki pekerjaan mulia karena dari keringat merekalah “tercipta rajutan harapan yang dapat membawa rakyat termasuk Pemuda Mahasiswa menuju hari depan yang lebih baik.”
Awal menegaskan bahwa buruh seharusnya mendapatkan hak mereka atas dedikasi dan kerja kerasnya. Ia mengkritik keras sistem yang berlaku, menyebutnya sebagai “sistem setengah jajahan dan setengah feodal yang terus melanggengkan politik upah murah [yang] tidak akan pernah memberikan jalan keluar atas kepastian kerja bagi buruh, upah yang layak, serta lingkungan kerja yang aman.”
Menurutnya, hubungan kerja yang terjadi adalah penindasan demi keuntungan perusahaan semata.
Lebih lanjut, Awal menekankan pentingnya keterikatan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat, khususnya buruh.
“Perjuangan pemuda mahasiswa harus bertalian erat dengan perjuangan buruh di pabrik-pabrik,” ujarnya.
Ia beralasan, mahasiswa adalah calon tenaga produktif yang akan mengabdikan ilmunya di tengah masyarakat. Tingginya angka pengangguran dan minimnya lapangan kerja memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk melakukan PHK sepihak.
“Sehingga pemuda mahasiswa yang mengambil barisan berdiri dan berjuang di barisan kelas buruh telah dan sedang memperjuangkan hari depannya,” pungkas Awal.
Pentas Rakyat: Seni dan Budaya Jadi Penguat Perjuangan
Sebagai bentuk dukungan moral dan penguat semangat, pada malam ke-13 aksi, FMN Bulukumba berkolaborasi dengan SBIPE KIBA menggelar pentas rakyat bertajuk “Satu Malam Bersama Kelas Buruh”. Pentas ini menampilkan berbagai pertunjukan seperti menyanyi, musikalisasi puisi, orasi politik, pesan solidaritas, hingga pemutaran dokumenter perjuangan buruh KIBA.
“Pentas satu malam bersama kelas buruh adalah suatu bentuk bagaimana seni atau kebudayaan seharusnya menjadi alat pemersatu serta menjadi penguat tersendiri bagi buruh KIBA untuk terus berjuang,” jelas Awal, menyoroti peran penting seni dan budaya dalam membakar semangat perjuangan.
(Editor Aro)