siginews-Sejarah – Pada malam 16 Agustus 1945, Jakarta diselimuti ketegangan. Sekelompok pemuda revolusioner, dipimpin oleh Wikana, “mengamankan” Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok.
Mereka beralasan, ribuan massa siap memberontak dan dwitunggal harus bersembunyi agar tidak dituduh sebagai provokator oleh tentara Jepang.
Namun, para pemuda ini juga mendesak agar proklamasi segera dilakukan, tanpa menunggu persetujuan Jepang.
Sukarno dan Hatta menolak mentah-mentah usulan tersebut. Mereka sadar bahwa kekuatan Jepang masih utuh di Jakarta.
“Ini adalah tindakan yang salah, salah sama sekali. Tidak mengertikah kalian bahwa pemberontakanmu ini akan menemui kegagalan?” ungkap Sukarno kepada para pemuda, seperti dicatat dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Senada dengan Sukarno, Hatta pun khawatir. Ia berpendapat, tindakan gegabah itu bukan revolusi, melainkan putsch (kudeta) yang justru akan mematikan cita-cita kemerdekaan.
Bagi dwitunggal, proklamasi harus dilakukan melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk meminimalisasi pertumpahan darah yang tidak perlu.
Meredakan Ketegangan dan Merumuskan Naskah Proklamasi
Sejarawan Benedict Anderson dalam bukunya, Revoloesi Pemoeda, menggambarkan suasana Jakarta yang sangat tegang. Para pemuda dalam mode “siap tempur” kebingungan karena pucuk pimpinan menghilang. Tentara Jepang pun memperketat penjagaan di titik-titik rawan, seperti pemancar radio di Gambir Barat.
Berkat lobi-lobi diplomatik dari Ahmad Soebardjo kepada para pemuda dan otoritas Jepang, tensi ketegangan perlahan mereda.
Sukarno dan Hatta akhirnya berhasil kembali ke Jakarta, dan pada malam yang sama, perumusan naskah proklamasi dilakukan di rumah dinas Laksamana Maeda Tadashi.
Meskipun telah sepaham, masih ada perbedaan pendapat. Ide para pemuda agar proklamasi diadakan di Lapangan Ikada (kini Monas) ditolak Sukarno karena khawatir akan memicu keributan.
Akhirnya, disepakati bahwa proklamasi akan dibacakan di rumah Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur.
Satu-satunya usulan pemuda yang diterima adalah soal penandatanganan naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar naskah itu ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta “atas nama rakyat Indonesia,” bukan atas nama PPKI.
Menyebar Kabar Kemerdekaan di Seluruh Penjuru Negeri
Setelah naskah selesai dirumuskan, para pemuda tak berhenti bergerak. Mereka segera mempersiapkan penyebaran kabar proklamasi. Latief Hendraningrat, wakil komandan Peta (Pembela Tanah Air), mengerahkan satu regu Peta untuk mengamankan upacara proklamasi. Ia juga bekerja sama dengan Barisan Pelopor untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Sukarno.
Selain itu, penyebaran berita proklamasi menjadi fokus utama. Hatta meminta B.M. Diah, seorang wartawan, untuk mengabarkan berita proklamasi ke seluruh dunia.
Meski ada kendala karena tentara Jepang memburu para kurir, para pemuda tetap berhasil menyebarkan selebaran berisi berita proklamasi melalui berbagai cara, seperti telegram, kereta api, hingga mobil.
Berita proklamasi juga disiarkan melalui radio. Meski sempat diinterupsi oleh Jepang, siaran berita proklamasi telah menyebar hingga Yogyakarta.
Bahkan, stasiun radio di Bandung turut menyiarkan proklamasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia setiap satu jam sekali, memastikan kabar kemerdekaan sampai ke seluruh penjuru dunia.
(Editor Aro)