siginews.com – Di sebuah grup alumni masjid Gundul, Mas Haris mengirim tulisan Pak Guru Andrimar. Isinya pedih. Tapi jujur. Dan kadang, kejujuran memang menyakitkan.
Pak Guru Andrimar menulis: “Kami para guru jadi budak dalam program ini. Kami membagikan makanan, menghitung, mengembalikan rantang. Tidak dibayar. Kalau rantang hilang, kami yang ganti. Bahkan ada kepala daerah yang bilang guru harus mencicipi makanan MBG dulu. Kami ini apa? Tumbal racun? Tikus laboratorium?”
Saya membaca itu pelan-pelan. Lalu saya diam. Lalu saya ulangi lagi. Lalu saya tersenyum getir.
Guru. Profesi yang katanya mulia. Tapi dalam praktiknya, sering jadi pelengkap penderita. Kalau ada program baru, guru yang disuruh jalan duluan. Kalau gagal, guru yang disalahkan. Kalau berhasil, pejabat yang naik panggung.
Tapi saya tidak ingin ikut-ikutan menyalahkan. Saya ingin mengajak melihat dari sisi lain. Dari sisi khidmah.
Saya teringat dawuh Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki:
“Pelajar yang banyak berkhidmah lebih baik daripada pelajar yang banyak belajar.”
Awalnya saya tidak paham. Bukankah tugas pelajar itu belajar? Tapi Abuya mengajarkan bahwa khidmah adalah pintu keberkahan. Bahwa ilmu bukan sekadar hafalan. Ilmu harus disertai adab. Disertai cinta. Disertai pelayanan.
Saya pernah ikut program MBG di SPPG Khusus Pesantren. Kami mulai 6 Januari 2025. Saya turun langsung ke sekolah-sekolah. Para guru menyambut dengan gembira. Murid-murid piket mengambil makanan, membagi ompreng, mengumpulkan kembali. Tidak ada keluhan. Tidak ada ratapan. Yang ada justru semangat.
Saya teringat tahun 1999. Di sekolah tempat saya berkhidmah, murid SD, SMP, SLTA sudah terbiasa ambil makanan ke dapur. Mereka juga mencuci piring sendiri. Tidak ada yang merasa jadi budak. Mereka merasa sedang belajar. Belajar melayani. Belajar bertanggung jawab. Belajar hidup.
Itu pendidikan. Itu tarbiyah.
Saya tidak ingin membantah Pak Guru Andrimar. Beliau jujur. Dan kejujuran harus dihargai. Tapi saya ingin mengajak melihat dari sisi lain. Bahwa mungkin, yang kita anggap beban, sebenarnya adalah ladang pahala. Bahwa yang kita anggap kerja paksa, sebenarnya adalah latihan jiwa.
Tentu, program MBG harus disosialisasikan. Harus dijelaskan. Harus dimanusiakan. Jangan sampai guru jadi tumbal. Jangan sampai guru jadi tikus laboratorium. Tapi jangan juga kita kehilangan makna khidmah.
Karena seperti dawuh Abuya:
“Keberkahan ilmu diperoleh melalui khidmah, sedangkan manfaat ilmu didapat dari ridha guru.”
Guru yang berkhidmah, akan melahirkan murid yang beradab. Murid yang berkhidmah, akan tumbuh jadi manusia yang tahu diri.
Dan bangsa yang tahu diri, tidak akan kelaparan. Tidak akan kehilangan arah. Tidak akan kehilangan guru.
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan Anggota Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokad Pejuang Islam
(Editor Aro)