siginews.com – Hari Senin (1/9/2025) lima anak muda silahturrahim ke gubukku. Mereka menuturkan baru terlibat demo anarkis. Dan menulis di media sosial ajakan aksi. Sebenarnya ajakan itu, hanya spontan. Hanya share saja. Hanya emosional karena lingkungan ngajak share aksi. Mereka kelompok yang hanya ikut-ikutan.
Tentu saja mereka tanpa pikir panjang. Tanpa baca ulang. Tanpa tahu apa dampak dari yang dishare. Mereka tidak memahami itu dapat menyeretnya ke ranah hukum.
Saya tatap wajah masing-masing. Mereka menundukkan pandangan. Mereka tampak menyesal. Lalu kubertanya pada mereka, “Kalian tahu Pasal 160 KUHP?”
Mereka hanya diam. Menundukkan pandangan. Saya coba mengajak mereka diskusi. “Itu pasal jebakan dan pasal karet mas.”
Saya lanjutkan mengajak diskusi, Panjenengan semua dapat terkena pasal tersebut jika kurang waspada. Seingatku pasal itu menjelaskan bahwa siapa pun yang menghasut orang lain untuk melakukan perbuatan melawan hukum maka akan terkena pidana.
Kategori dampak hasutan adalah ada orang yang merusak, membakar, atau melawan pejabat yang sah dan atau menjarah.
Itu semua dapat dijerat hukum pasal 160 KUHP. Hasutan itu kadang ucapan dan atau berupa tulisan. Baik tulisan di medsos. Di kolom komentar. Di status yang viral. Atau di flayer atau di brosur.
Mereka kemudian saking berbisik. “Bagaimana dengan tindakan kita?”
“Semua bergantung pada respon dari APH?” jawabku. Jika mereka dapat dua alat bukti maka mereka bisa melakukan tindakan selanjutnya.
“Tapi kalian tidak perlu kuatir. Aman kok. Kalian tidak akan terjerat. Ini pembelajar terbaik bagi kalian,” nasehatku.
Saat ini era dunia maya ini, kita memang dituntut cerdas. Bukan hanya cerdas teknologi. Tapi cerdas emosi. Cerdas hukum. Cerdas spiritual. Karena medsos bukan lagi tempat curhat bebas. Ia sudah jadi ruang publik. Bahkan lebih terbuka dari pasar tradisional.
Di pantai, di alam bebas, kita bisa berteriak. Bisa marah. Tapi hanya didengar oleh segelintir orang. Di medsos? Satu kalimat bisa dibaca ribuan. Bahkan jutaan. Dan jika kalimat itu mengandung hasutan, maka hukum bisa datang. Tanpa permisi. Tanpa ampun.
Kita tidak sedang menakut-nakuti. Tapi kita sedang membangun peradaban generasi modern. Kita mengajak mereka untuk sehat bermedsos. Sehat itu bukan berarti diam. Tapi tahu kapan bicara. Tahu apa yang dibicarakan. Tahu dampaknya. Tahu batasnya.
Jadi kita jangan jadi korban hasutan digital. Jangan ikut-ikutan membakar emosi orang lain. Jangan jadi bagian dari kerusakan yang dimulai dari satu jempol.
Karena jempol kita bisa jadi berkah. Tapi juga bisa jadi musibah.
Dan medsos, seperti pisau, tergantung siapa yang memegangnya. Sehat bermedsos agar tidak ‘ghibah’ dan memfitnah. Tidak provokasi atau menghasut. Agar akhirat kita selamat. Amal kita tidak hilang. Dan hidup kita tidak terjerat hukum hanya karena tarian jempol kita.
Oleh : Imam Mawardi Ridlwan, Ketua Dewan Penasehat PPDI Jatim
(Editor Aro)