Pajak Pensiun Digugat ke MK, Dua Pekerja Nilai Tak Seharusnya Dipajaki
Reporter : Editor 01
Bisnis
Senin, 6 Oktober 2025
Waktu baca 2 menit

siginews.com-Jakarta – Dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, mengajukan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon keberatan atas ketentuan yang menetapkan pesangon dan pensiun sebagai objek pajak penghasilan progresif, menyamakannya dengan penghasilan baru dari aktivitas ekonomi.
Uji materiil ini berfokus pada Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP.
“Pajak pesangon, pajak pensiun, itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja tiba-tiba kok disamakan dengan pajak penghasilan progresif,” ujar kuasa hukum pemohon, Ali Mukmin, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 170/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta, Senin (6/10/2025).
Pesangon Dianggap “Tabungan Terakhir”, Bukan Tambahan Kekuatan Ekonomi
Para pemohon berpendapat bahwa secara filosofis dan sosiologis, pesangon dan pensiun—yang merupakan hak normatif setelah puluhan tahun bekerja—seharusnya tidak diperlakukan setara dengan keuntungan usaha atau laba modal.
Mereka menilai pesangon dan pensiun adalah bentuk “tabungan terakhir” hasil jerih payah pekerja sepanjang hidup.
Menurut pemohon, negara terkesan tega mengambil jatah biaya hidup rakyat di masa tua, padahal para pekerja telah dipotong pajaknya puluhan tahun tanpa adanya kontribusi balik secara langsung.
Ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil. Pemohon berargumen, membebani pajak kepada pekerja yang berada dalam posisi rentan di masa tua (pensiunan) sama saja memperlakukan mereka dalam situasi yang sama dengan kelompok produktif, padahal kondisi sosial-ekonomi mereka berbeda.
Permintaan Pemohon dan Saran Perbaikan dari Hakim
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh bertentangan dengan UUD 1945; serta menyatakan ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT.
Sebagai informasi, permohonan ini diajukan karena kekhawatiran uang pensiun kedua pemohon, yang menjadi bekal hidup setelah berhenti bekerja, akan berkurang signifikan akibat pemotongan pajak progresif.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Panel Hakim yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, menyoroti sistematika permohonan yang belum memenuhi ketentuan.
Hakim Daniel Yusmic menyarankan agar pemohon menarasikan ulang permohonan dengan menjelaskan argumentasi pertentangan norma secara rapi dan sistematis.
Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki berkas permohonan, dan perbaikan tersebut paling lambat diterima MK pada Senin, 20 Oktober 2025, pukul 12.00 WIB.
(Editor Aro)
#mahkamah konstitusi
#MK
#Pajak Uang Pensiun
#Pajak Uang Pesangon
#Uang Pensiun
#Uang Pesangon



Berita Terkait

Hasil Kongres ke 18, Duet Khofifah dan Arifatul Pimpin PP Muslimat NU
Headlines.Sabtu, 15 Februari 2025

Harga Pupuk Subsidi Turun 20 Persen, Urea per Sak Kini Rp 90 Ribu
Ekonomi.Jumat, 24 Oktober 2025

Usai Latihan Silat, Pemuda Di Jombang Dikeroyok Lima Orang Tak Dikenal
Headlines.Senin, 11 November 2024

Ramadan di Kereta: Boleh Buka Puasa dalam Kereta, tapi Ini Aturannya
Headlines.Sabtu, 1 Maret 2025

