siginews-Jakarta – Tarif kontroversial yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump mengakibatkan naiknya tensi politik perdagangan dunia. Termasuk hubungan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat tengah diuji.
Setelah pemerintah AS melalui laporan United States Trade Representative (USTR) melayangkan keluhan terkait implementasi sistem pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang dinilai menghambat perdagangan, tensi semakin meningkat dengan kebijakan tarif kontroversial yang diumumkan oleh mantan Presiden Donald Trump.
Menyikapi situasi ini, kedua negara kini mengambil langkah diplomatik. Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat saat ini sedang dalam proses negosiasi intensif yang ditargetkan rampung dalam 60 hari ke depan.
Upaya ini bertujuan untuk mencari solusi yang dapat meredakan ketegangan dan menjaga stabilitas hubungan ekonomi bilateral.
Keluhan Amerika Serikat soal QRIS sebagai penghambat perdagangan Indonesia ditanggapi santai oleh Bank Indonesia (BI).
Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menyatakan bahwa kerja sama dengan negara lain, termasuk AS, sangat mungkin terjadi asalkan ada kesiapan dari kedua belah pihak.
“Jadi kami tidak membeda-bedakan. Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa tidak?” tegas Destry dalam acara Edukasi Keuangan bagi Pekerja Migran Indonesia di Gedung Dhanapala, Jakarta (21/4/2025).
Destry Damayanti dari BI menyoroti dominasi Visa dan Mastercard di Indonesia sebagai bukti bahwa sistem pembayaran AS sebenarnya tidak terhambat.
“Sampai sekarang kartu kredit yang selalu direbutin Visa dan Mastercard kan masih juga dominan. Jadi itu tidak ada masalah sebenarnya,” jelasnya.
Meski demikian, ia tidak memberikan rincian langkah BI selanjutnya terkait keluhan AS soal QRIS.
Dalam laporan USTR 2025, terungkap kekecewaan pihak Amerika Serikat terkait implementasi QRIS di Indonesia. Bank dan penyedia jasa pembayaran AS merasa ‘dipinggirkan’ saat Bank Indonesia merancang kebijakan QRIS.
“Stakeholder internasional tidak diberitahu potensi perubahan akibat kebijakan ini ataupun diberi kesempatan untuk memberi pandangan mengenai sistem ini, termasuk bagaimana QRIS bisa didesain untuk terkoneksi dengan sistem pembayaran yang sudah ada,” tulis USTR dalam laporannya.
Selain polemik QRIS, laporan USTR membuka tabir sejumlah persoalan lain yang menghambat perdagangan antara Amerika Serikat dan Indonesia.
Mulai dari labirin perizinan impor, kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dianggap memberatkan, hingga lemahnya payung hukum bagi kekayaan intelektual.
Ironisnya, laporan ini muncul hanya beberapa hari sebelum Presiden Donald Trump meluncurkan kebijakan tarif yang kontroversial. Kini, diplomasi tengah diupayakan.
Pemerintah Indonesia dan AS duduk bersama untuk merespons kebijakan tarif tersebut, dengan target kesepakatan dalam 60 hari ke depan.
(Editor Aro)