Oleh Abdurrahman Wahid (Pengurus Depertemen SDI DPP HEBITREN, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri)
siginews-Pengalaman menunaikan ibadah haji seringkali dibayangkan sebagai perjalanan spiritual yang mulus, penuh khidmat, dan tanpa hambatan. Namun, realitas di lapangan bisa jauh berbeda. Bagi sebagian jamaah, termasuk saya dan rombongan KBIH SAHID, haji adalah “Padang Mahsyar” mini yang tak hanya menguji fisik, tapi juga menempa mental dan spiritual hingga batasnya.
Sejak di Hotel Hibbah Hijrah, kami sudah “disuntik” mental bak tentara yang siap tempur. Bukan melawan musuh, melainkan melawan diri sendiri: menahan protes, keluh kesah, dan godaan kasur empuk. Bekal mi instan dan roti menjadi simbol kesiapan menghadapi kondisi apapun.
Pembimbing rohani kami, KH. Lutfi Zawawi, bagai panglima yang mempersiapkan pasukan sebelum terjun ke gelanggang Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Kami dilatih untuk siap bukan hanya soal rukun dan syarat ibadah, tapi bagaimana menjaga kelapangan hati saat kenyataan tak sesuai harapan.
Dalam manasik, tak pernah diajarkan bagaimana menghadapi bus yang tak kunjung datang, atau katering yang tak bisa diprediksi. “Tak ada pasal fikih yang menjelaskan, ‘Jika jamaah telah berdiri menunggu di lobi hotel sejak pukul tiga dini hari hingga sore menjelang, maka bersabarlah.'” Ini adalah latihan untuk memahami perbedaan antara menunggu karena cinta dan menunggu karena tak ada pilihan.
Di Arafah, perjalanan yang kami sangka usai, ternyata baru tahap awal. Tenda yang tak cukup luas, tak cukup teduh, dan tak cukup untuk semua, membuat sebagian jamaah terpaksa terhampar di luar, beralaskan terpal, berselimut tekad dan napas.
Di sanalah kami belajar bahwa rumah terbaik bukanlah yang beratap, melainkan yang memberi ketenangan. Malam itu, ketenangan hanya datang dari zikir dan sandal jepit yang masih utuh.
Di tengah kelelahan, panas yang menyengat, dan logistik yang tak pasti, seorang bapak menyeringai kecut, “Untung ini di Tanah Haram… Coba kalau di Jakarta, pasti sudah ribut!” Kalimat itu memicu tawa, bukan karena lucu semata, tapi karena kejujurannya.
Di Arafah, lapar dan kesabaran dipaksa hidup bersama, diikat oleh kepasrahan tertinggi—bukan menyerah, tapi merelakan segala yang terjadi tanpa kehilangan iman dan nalar.
Soal makanan, ini adalah bab tersendiri dalam “buku komedi spiritual” yang tak tertulis. Di Arafah, sarapan bisa tiba saat matahari sudah menyala di ubun-ubun, seolah menguji mana yang lebih membara: perut atau emosi.
Malam hari, saat tubuh sudah rebah dan roh menyosori lorong mimpi, makanan baru tiba seperti kiriman yang takdirnya nyasar. Kami terbangun antara lapar dan kebingungan: apakah ini sarapan, makan malam, atau kejutan? Lagi-lagi, di sinilah kami diuji: sabar saat lapar itu biasa, tapi sabar saat lapar dan diminta sabar—itu luar biasa.
Di tenda Arafah yang seperti posko bencana, kami tidur berdesak-desakan, seolah yang di samping adalah guling spiritual, bukan jamaah. Saat makanan datang lebih lama daripada jemputan, kami merebus mi sambil tertawa, menghitung panjang-pendeknya mi instan. Dari tenda-tenda itu, terdengar azan, tawa, bahkan bisikan pelan: “Ya Allah, ini bukan yang kami bayangkan, tapi mungkin ini yang kami butuhkan.”
Mabit di Muzdalifah adalah malam suci yang menguras kesabaran. Akomodasi sering kali menempuh jalan takdir yang membingungkan. Bus tak sesuai jumlah, banyak jamaah akhirnya memilih berjalan kaki ke Mina, layaknya pejalan sunyi menuju pencerahan.
Di antara kaki yang bengkak, tas Armuzna yang bergesekan, dan wajah yang dibanjiri debu serta niat baik, kami mulai mengerti bahwa spiritualitas bukan hanya soal salat dan puasa, melainkan juga menahan amarah saat segala hal memancing kemarahan.
Sebagian jamaah tersesat, bukan karena tak tahu arah, tapi karena tak ada yang memberi petunjuk. GPS tak berguna saat otot lelah dan sinyal raib. Banyak yang akhirnya pasrah, bukan putus asa, tapi menyadari haji adalah soal menyerahkan kendali kepada-Nya. Saat itulah kami sadar: haji bukan tentang menaklukkan Tanah Suci, tapi menaklukkan diri sendiri.
Setelah Mina dan jumrah yang khidmat, thawaf dan sa’i ifadah pun berjalan lancar. Rasa syukur pun mengalir dalam tasyakuran kecil, sebagai penanda betapa semuanya berjalan baik. Ucapan terima kasih untuk petugas haji, pembimbing, petugas kesehatan, hingga ketua kloter yang setia mendampingi.
Perwakilan Kemenag tak menutupi kekurangan, namun mengingatkan: haji bukan sekadar perjalanan fisik, tapi ladang jiwa—tempat kita belajar menahan diri dari fusûq (keburukan) dan jidâl (debat sia-sia).
Semoga tahun depan, pelaksanaan haji tidak lagi seperti orkestra tanpa konduktor, yang membuat jamaah menari di antara tenda dan bus karena kebingungan.
Harapan kami sederhana, agar haji lebih tertata, lebih rapi, dan tidak lagi menjadi ajang uji mental yang kelewat ekstrem. Supaya para tamu Allah bisa lebih khusyuk beribadah, tak terganggu oleh nasi kotak nyasar atau tenda yang lebih panas dari dosa. Sebab, jika ziarah suci ini terus-menerus dibumbui kekacauan, bisa-bisa orang lebih takut kepada sistem daripada kepada neraka.
Di sinilah letak “komedi spiritual” paling lucu. Inilah haji sesungguhnya: melatih diri menerima yang di luar kendali, tanpa kehilangan kendali atas diri sendiri. Haji bukan ibadah orang manja. Ia adalah perjalanan yang disengaja untuk mengikis ego, menepuk dada, dan berkata: “Engkau bukan siapa-siapa, dan tak bisa apa-apa tanpa pertolongan-Nya.”
Ketika semua fasilitas tak berjalan mulus, di sanalah Allah sedang menyentuh kita—mengajak kita paham bahwa kenyamanan dunia hanya sementara. Kebahagiaan sejati lahir dari rasa cukup dan sabar. Kami dibikin lapar agar tahu bahwa syukur itu tidak muncul dari kenyang, tapi dari hati yang bisa berdamai dengan keadaan.
Armuzna adalah kamp pelatihan batin paling keras dan paling indah. Ia bukan soal tenda, katering, atau bus. Tapi soal bagaimana tetap tersenyum saat ingin mengeluh, tetap bersyukur saat semua serba kurang, dan tetap mencintai takdir meski tak sesuai rencana.
Akhirnya kami sadar, haji adalah safari jiwa. Tempat di mana sabar, ikhlas, tawakal, dan humor duduk semeja, berbagi roti dan kisah. Tempat di mana kita menghapus rencana, agar Allah menuliskan sesuatu yang lebih indah.
Dan di tengah semua lelah itu, kami tahu—kami sebenarnya sedang pulang. Bukan ke Mina, bukan ke Mekah. Tapi pulang ke diri sendiri yang bersih, pulang ke Allah yang Maha Menerima.
(Editor Aro)