siginews-Tanah Suci – Di tengah hiruk pikuk ibadah haji, saya berkesempatan bertemu dua ulama khos yang menjadi mata rantai tak terpisahkan dari jaringan ulama Nusantara yakni, KH. Kholil As’ad dan KH. R. Chaidar Muhaimin Afandi (Gus Endar). Pertemuan tanpa protokoler dan antrean selfie ini menjadi mata air di Tanah Haram, tempat setiap ucapan mereka terasa seperti tamparan halus yang menyegarkan.
Mereka bukan hanya penyambung ilmu, tetapi juga ruh zaman yang mengingatkan kita pada sesuatu yang hilang: sanad keilmuan.
KH. Kholil, putra ulama pejuang pendiri NU, KH. As’ad Syamsul Arifin, sedikit bicara namun setiap kalimatnya bagai mata air yang dalam.
Sementara Gus Endar, cicit dari KH. M. Munawwir pendiri Ponpes Al-Munawwir Krapyak, hadir dengan wajah teduh dan gaya bicara yang menenangkan.
Dari keduanya, saya merasa “dipijat oleh sejarah dan dipelototi oleh kenyataan” bahwa umat ini telah kehilangan sanad, warisan mulia yang tak kasat mata namun menentukan arah dan kedalaman ilmu.
Rihlah Ilmiah yang Memudar: Dulu Bawa Kitab, Sekarang Hanya Oleh-Oleh
Pertemuan ini membawa saya pada pertanyaan besar: ke mana perginya rihlah ilmiah yang dulu begitu kuat dalam tradisi haji kita? Dulu, naik haji bukan sekadar menggugurkan kewajiban.
Tanah Suci adalah madrasah terbuka. Santri kampung bisa menetap bertahun-tahun, menyerap ilmu, dan pulang sebagai ulama bercahaya.
Nama-nama besar seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz Termas, hingga KH. Hasyim Asy’ari adalah bukti rihlah ruhani panjang yang mereka tempuh. Mereka datang dengan semangat belajar, pulang dengan semangat membangun.
Namun, bagaimana dengan hari ini? Haji kerap menjadi urusan birokrasi, seragam, dan jadwal padat. Kita ingin segalanya cepat: datang, ibadah, lalu pulang.
Tak ada waktu untuk ziarah ilmiah, apalagi sowan kepada ulama yang masih mengajar di Tanah Suci. Rihlah ilmiah telah memudar, tergantikan oleh wisata religius yang penuh dokumentasi namun minim makna.
Dulu, orang pulang haji membawa kitab; sekarang, yang dibawa adalah air zam-zam, kurma, dan koper penuh oleh-oleh. Bukan salah, tapi terasa miskin dari perjalanan yang seharusnya kaya makna.
Pentingnya Sanad: Urat Nadi Peradaban yang Kini Terancam Putus
KH. Kholil As’ad tak marah, ia hanya menatap dan berbicara pelan, namun hikmahnya menampar kesadaran. Jika sanad ini terus diputus, ilmu hanya akan menjadi informasi belaka.
Ia bukan lagi cahaya, melainkan senjata. Kita bisa berdebat dalil, tapi sulit rukun. Paham hukum, tapi lupa adab. Agama, pada akhirnya, bisa menjadi seperti pisau dapur: tajam, namun tergantung siapa yang memegang.
Sanad, kata Gus Endar, bukan sekadar silsilah guru, melainkan urat nadi yang menghidupkan peradaban. Lewat sanad, kita mengenal siapa diri kita, asal-usul, dan tujuan.
Putusnya sanad berarti putusnya arah. Sowan kepada orang-orang saleh, yang kini tak lagi populer atau viral, justru di situlah letak maknanya. Duduk, diam, mendengar, tanpa terburu-buru membuka kamera, adalah pelajaran adab yang kini makin langka.
Pertemuan di Tanah Haram itu bukan hanya tentang dua ulama, melainkan cermin. Di sana, saya melihat betapa jauhnya kita dari jalan para pendahulu. Betapa mendesaknya kita untuk pulang—bukan ke rumah, tetapi ke ruh ilmu yang dulu membuat para santri haji pulang sebagai penjaga peradaban, bukan sekadar pembawa paket kurma.
Oleh Abdurrahman Wahid (Pengurus Depertemen SDI DPP HEBITREN, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri)
(Editor Aro)