• Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
Siginews.com
  • Home
  • Indepth
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Ekbis
  • Sport
  • Lifestyle
  • Daerah
  • Indeks
Siginews.comSiginews.com
  • Home
  • Indepth
  • Pemerintahan
  • Politik
  • Ekbis
  • Sport
  • Lifestyle
  • Daerah
  • Indeks
Search
  • Rubrikasi
    • Nasional
    • Pemerintahan
    • Politik
    • Ekbis
    • Hukrim
    • Hankam
    • Lifestyle
    • Jawa Timur
Have an existing account? Sign In
© 2024 - Siginews.com
Jawa Timur

‘Lillāhi Ta‘ālā’: Mengantar Anak ke Tanah Penempa Jiwa dan Akhlak

Reporter : Redaksi Selasa, 22 Juli 2025
Abdurrahman Wahid (Foto: dok.abdurrahmanwahid)
SHARE

siginews – Niat insun memondokkan anak, lillāhi ta‘ālā. Sebuah niat yang terasa begitu sederhana, namun sarat makna. Ia tak terucap lantang atau diperdengarkan lewat pengeras suara, melainkan bersemayam tulus di relung hati setiap orang tua yang melepas buah hatinya ke pesantren.

Ada keikhlasan yang mengalir tenang di sana, sebuah niat yang tak riuh tapi tajam; tak terlihat, tapi menuntun langkah—seperti angin subuh yang perlahan namun pasti menggoyangkan dedaunan, menandai hadirnya pagi yang baru.

Ini bukan sekadar mengikuti arus. Bukan pula soal ketidakmampuan untuk memilih jalur lain, melainkan sebuah pilihan hati akan pendidikan yang tak sekadar mengisi pikiran, tapi juga menanamkan jiwa, membentuk karakter, dan mengukir akhlak.

Sebuah keputusan yang bersandar pada keyakinan yang mungkin tak bisa sepenuhnya dijelaskan dengan akal sehat, bahwa pesantren adalah ladang tempat menanam manusia dengan keteladanan—tempat di mana nilai-nilai luhur dipupuk dan kematangan jiwa ditempa.

Sebuah Perpisahan, Sebuah Cermin Waktu

Pagi itu, kami sekeluarga mengantar anak perempuan pertama ke pesantren. Bukan pesantren besar di luar kota, lokasinya bahkan tak jauh dari rumah. Namun tetap saja, ada rasa yang tak biasa.

Ada ruang kosong yang mendadak terasa lengang di rumah, meski tak berkurang satu sentimeter pun. Ia berangkat dengan koper besar—besar hampir seukuran harapan kami. Tak ada seremoni atau pelepasan resmi, hanya kami—keluarga besar dari pihak istri—yang berangkat pagi-pagi, diantar matahari yang belum tinggi dan udara yang masih mengandung embun. Kami menuntun langkahnya menuju gerbang pondok.

Bedanya, dulu saya yang diantar, kini giliran saya mengantar. “Ah, inilah hukum karma,” batin saya, sambil tersenyum melihat istri yang sesekali menyeka sudut matanya dengan ujung jilbab. Saya tahu, senyum itu hanyalah penutup yang rapi untuk sesuatu yang menghangat di dada—antara bangga dan berat melepas.

Terkadang, waktu memang bukan sekadar angka yang berjalan, tapi jembatan panjang yang membawa kita kembali pada peristiwa-peristiwa lama—yang kini berbalik posisi.

Waktu beranjak sore. Sudah saatnya anak wedok itu dilepas, kembali ke kamarnya. Kami tahu, tangis bisa meledak kapan saja, tapi semua berusaha menahan diri sekuat mungkin.

Baca Juga:  Perketat Aturan Jam Malam untuk Siswa, Begini Cara Dispendik Memantau

Di sanalah ia, anak kami, duduk sambil mencengkeram ujung baju. Menahan agar air matanya tidak jatuh di hadapan kami yang sedang belajar ikhlas. Namun ketika saya maju untuk berpamitan dan mengulurkan tangan, bundanya berkata lirih dengan suara bergetar, “Itu Abinya, Kak.” Sederhana, tapi cukup untuk menggoyahkan seluruh pertahanan.

Dan tiba-tiba, air mata yang selama ini digenggam jatuh begitu saja—tanpa aba-aba, tanpa diminta. Begitulah: perpisahan di pesantren bukan soal jauh atau dekat, tapi soal seberapa besar kita rela membiarkan anak menapak di jalan sunyi menuju ilmu. Saya diam.

Dunia rasanya bergerak begitu pelan. Waktu seperti ingin berhenti sejenak, memberi ruang bagi kami bertiga untuk memahami apa arti dari melepaskan. Pada saat seperti itu, saya benar-benar mengerti, bahwa lillāhi ta‘ālā bukan sekadar slogan, tapi sikap jiwa: melepaskan dengan keyakinan, tapi tidak putus doa.

Dalam hati terngiang: 27 tahun lalu, saya pernah ada di posisi yang sama. Menjadi anak muda yang baru mondok di Nurul Jadid, ujung timur Probolinggo. Pesantren yang tidak hanya mengajarkan bagaimana membaca kitab, tetapi juga bagaimana membaca hidup.

Pesantren: Ladang Pembentukan Manusia Sejati

Pesantren adalah tempat belajar yang istimewa. Ia mengajarkan banyak hal—bahkan sebelum anak membuka kitab. Sejak hari pertama, anak-anak sudah belajar sabar saat antre mandi. Belajar ikhlas saat sandalnya dipinjam orang tapi tak kembali seperti cinta pertama.

Belajar tawaduk saat mencium tangan guru, bahkan saat guru itu tidak mengajar langsung di kelas. Belajar saling menolong, saling memaafkan, saling memahami. Hal-hal kecil yang jarang tercatat dalam nilai rapor, tapi sangat berarti bagi kehidupan.

Anak saya sekarang sedang mempelajari semua itu. Ia mungkin belum sepenuhnya sadar, tapi saya yakin waktulah yang akan mematangkannya. Waktu dan doa.

Karena di pesantren, belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas. Bahkan mungkin yang paling penting justru terjadi di luar kelas. Di kamar, di masjid, di dapur, di halaman, di depan kamar mandi. Anak-anak belajar bahwa hidup ini tidak selalu nyaman, tapi justru dari ketidaknyamanan itu muncul kemandirian, muncul kedewasaan, muncul kebijaksanaan.

Baca Juga:  Siap-Siap! Inilah 6 Kebijakan Baru Pendidikan yang Berlaku di 2025

Ilmu di pesantren itu tidak mengalir deras seperti air kran. Ia merembes pelan-pelan, seperti air dari kendi ke gelas. Tidak langsung penuh, tapi menyegarkan. Tidak langsung mengerti, tapi membekas. Maka tak heran jika santri kadang terlihat biasa-biasa saja di awal, tapi setelah puluhan tahun, ia berubah menjadi sosok matang—bijak, tenang, dan tahu diri.

Termasuk ketika mereka duduk malam-malam selepas Isya, menghafal Imrith sambil mencuci, melafazkan Al-Qur’an saat mau tidur, atau tekun membedah kalimat demi kalimat dalam kitab Fathul Qarib. Bukan hanya karena tuntutan ustadz, tapi karena keyakinan bahwa dalam teks-teks itu tersimpan cahaya hidup yang tak lekang zaman.

Di pesantren, mencium tangan kiai atau ustadz bukan basa-basi; itu adalah saluran berkah. Menyapu halaman tanpa disuruh bukan karena sedang rajin, tapi karena itulah bagian dari khidmah. Dan dalam dunia santri, khidmah adalah pintu ilmu. Itulah mengapa, tak jarang kita melihat orang yang pernah mondok meski hanya beberapa tahun, begitu kuat karakternya. Karena ia dibentuk bukan hanya dengan teori, tapi dengan laku.

Saya tahu banyak kawan saya dulu yang setelah lulus dari pesantren tidak hanya jadi kiai. Tapi mereka menjadi manusia yang bisa diandalkan. Ada yang jadi dosen, jaksa, pengusaha, doktor, aktivis, politisi, bahkan driver ojek online. Tapi kalau lewat depan pesantrennya dulu, mereka tetap menunduk. Tetap melipir, tetap minta doa. Karena hubungan mereka dengan guru tidak putus. Tidak pernah putus.

Hubungan santri dan guru adalah hubungan ruhani. Sejenis sinyal yang tak pernah padam, tak pernah habis kuota. Bahkan setelah guru wafat, santri tetap mengirim Al-Fatihah, membaca tahlil, menyebut namanya dalam sanad doa dan tawasul. Karena ilmu yang sejati adalah warisan jiwa—bukan sekadar kumpulan informasi, tapi sesuatu yang hidup karena pernah dihidupkan.

Baca Juga:  Contoh Teks Doa Hari Guru Nasional 2024

Pesantren juga istimewa karena ia tidak memisahkan pendidikan dan ibadah. Seluruh aktivitas sehari-hari dimaknai sebagai bagian dari pengabdian. Bangun tidur, antre mandi, mengaji, belajar, mencuci pakaian, menyapu kamar, menunggu giliran makan, bahkan tidur itu sendiri—semuanya bisa bernilai ibadah, jika diniatkan dengan benar.

Ini bukan sekadar romantisme pesantren. Ini adalah fakta pendidikan yang tidak bisa dijumpai di tempat lain. Di sekolah umum, pendidikan sering kali berorientasi nilai, ujian, target kurikulum. Di pesantren, semua itu ada, tapi dibungkus dengan semangat pengabdian. Ilmu bukan hanya diturunkan, tapi diteladankan.

Dan ini, menurut saya, adalah hal paling penting dalam pendidikan. Karena anak-anak kita kelak tidak hanya akan ditanya: “Kamu tahu apa?” Tapi juga: “Kamu jadi siapa?” Dan “untuk apa kita hidup?”.

Menanam Manusia di Tanah Subur Pesantren

Ketika saya memondokkan anak saya, saya tahu ini bukan keputusan ringan. Tapi juga bukan keputusan ragu-ragu. Saya menanam harapan. Bukan harapan agar anak saya jadi ahli agama semata, tapi agar ia tumbuh menjadi manusia yang kuat, yang lembut hatinya, yang paham batas, dan yang tahu bahwa hidup ini tidak bisa dijalani sendiri.

Saya ingin anak saya tidak hanya cerdas, tapi juga tahu diri. Tidak hanya menguasai ilmu, tapi juga bisa menahan nafsu. Tidak hanya bisa bicara, tapi juga bisa diam di saat yang tepat. Dan saya percaya, pesantren adalah tempat paling masuk akal untuk itu.

Maka biarlah kami melepas ia dengan doa. Doa yang mungkin tak terdengar, tapi tak pernah putus. Karena dalam setiap sujud kami, selalu ada namanya disebut. Dalam setiap malam yang hening, selalu ada harap yang dipanjatkan.

Mondok, pada akhirnya, bukan sekadar memilih tempat belajar. Tapi memilih tempat untuk menanam manusia. Dan saya percaya, tanah pesantren adalah tanah subur—tempat di mana pohon-pohon teguh itu tumbuh, meski diterpa angin zaman.

Penulis: Abdurrahman Wahid (Pengurus Depertemen SDI DPP HEBITREN, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten, dan Founder Kita Santri)

(Editor Aro)

Tag :PendidikanPendidikan PesantrePesantrenPondok PesantrenPonpes
Ad imageAd image

BERITA TERBARU

Cetak Kualitas SDM Koperasi, Kemnaker Siap Beri Sertifikasi Kompetensi
Selasa, 22 Juli 2025
Indonesia Ditahan Imbang Malaysia: Dominasi Sia-sia di Kandang Sendiri
Selasa, 22 Juli 2025
Prabowo Marah Saat Sambutan di Kongres PSI 2025, Ada Apa?
Selasa, 22 Juli 2025
Prabowo Targetkan Ikan Murah Lewat Koperasi dan Dana Desa Rp 1 Miliar
Selasa, 22 Juli 2025
Bediding Musim Kemarau, Ini Penyakit yang Mengintai & Cara Mencegahnya
Selasa, 22 Juli 2025
Ad imageAd image

Berita Populer

Cetak Kualitas SDM Koperasi, Kemnaker Siap Beri Sertifikasi Kompetensi

Indonesia Ditahan Imbang Malaysia: Dominasi Sia-sia di Kandang Sendiri

‘Lillāhi Ta‘ālā’: Mengantar Anak ke Tanah Penempa Jiwa dan Akhlak

Prabowo Marah Saat Sambutan di Kongres PSI 2025, Ada Apa?

Prabowo Targetkan Ikan Murah Lewat Koperasi dan Dana Desa Rp 1 Miliar

Berita Menarik Lainnya:

Suhu 23°C Lebih Dingin dari Biasanya di Kota Surabaya Pagi Ini

Selasa, 22 Juli 2025

Jatim Gelar Peralatan Penanggulangan Bencana 2025 di Pasuruan

Senin, 21 Juli 2025

Maraknya Guru Dilaporkan ke Polisi, Eri Minta Utamakan Komunikasi

Senin, 21 Juli 2025

Anggota DPRD Jatim Tegur Keras Penyelenggara Konser Musik di Jombang

Senin, 21 Juli 2025
Siginews.com

Siginews.com adalah media online yang berkomitmen untuk menyediakan informasi yang akurat, terpercaya, dan relevan untuk generasi Indonesia.

  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • Foto
  • Video
  • Indepth
  • Opini
  • Pilihan Redaksi

Ikuti Kami

Copyright 2024 – Siginews.com

Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?