siginews-Jakarta – Jelang peringatan Hari Anak Nasional esok, pertanyaan mendalam mengemuka: Apakah negara masih mampu melindungi dan mengawal generasi penerus di tengah gempuran ancaman yang semakin kompleks?
Bagi para pegiat, pemerhati, dan pihak pemerintah yang bergelut dalam isu anak, pertanyaan ini terasa mendesak. Kejahatan yang bergerak dalam ruang paling tersembunyi, memanfaatkan pergerakan algoritma, menjadi tantangan besar. Mampukah anak-anak kita melewati badai ini dan menjelma menjadi generasi emas 2045?
Regulasi Lengkap, Penegakan Penuh Tantangan
Indonesia sesungguhnya memiliki perangkat instrumen perlindungan anak yang tergolong sangat lengkap. Namun, realitas di lapangan kerap menghadirkan tantangan.
Isu konsistensi penegakan hukum masih menjadi pekerjaan rumah. Dalam setiap evaluasi Kota Layak Anak, rekomendasi terkuat selalu mengerucut pada pentingnya pengarusutamaan keberpihakan perencanaan daerah dan anggaran yang lebih besar serta berjangka panjang untuk anak-anak.
Pengalaman Pokja Pengaduan KPAI menunjukkan bahwa sebagian besar kasus yang dilaporkan keluarga, anak, sekolah, lingkungan, media, pemerintah, dan masyarakat merupakan situasi puncak dari perlakuan salah yang telah terjadi sebelumnya, bukan sepenuhnya kasus baru.
Meskipun publik mungkin merasakan pengulangan, perlu diingat bahwa setiap tahun Indonesia menyambut sekitar 4 juta kelahiran bayi, yang berarti tantangan perlindungan terus berlipat ganda.
Masalah Klasik: Keluarga dan Pengasuhan Alternatif
Laporan pengaduan KPAI mengungkap bahwa persoalan terbesar masih berkutat pada tingkat awal kehidupan anak, yaitu klaster keluarga dan pengasuhan alternatif. Ini mengindikasikan bahwa upaya perlindungan anak seolah belum bergerak jauh dari permasalahan dasar keluarga, meski berbagai intervensi program telah digulirkan.
Kenyataan bahwa anak masih sangat rentan di awal kehidupannya menunjukkan bahwa di tahap ini saja, negara sudah dihadapkan pada angka kasus yang tinggi.
Tentu saja, negara tidak dapat dibiarkan berjuang sendirian. Konsep Asta Cita berupaya menjawab persoalan ini dengan mengintervensi keluarga melalui berbagai program kerakyatan.
Beberapa program penopang telah diciptakan, seperti target MBG (Membangun Generasi Emas) yang diharapkan mampu menjemput bola segala permasalahan anak, memastikan tidak ada lagi anak Indonesia yang tertinggal, sejalan dengan target SDG’s (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan).
Melawan Dampak Gadget dan Lingkungan: Solusi Inovatif dan Tantangan Baru
Pemerintah juga berupaya menjawab dampak negatif gadget dengan program pemeriksaan jiwa setiap anak Indonesia. Kemiskinan ekstrem yang memengaruhi anak diatasi dengan memastikan perlindungan melalui program sekolah rakyat dan relawan mengajar, demi menghadirkan pendidikan inklusif di tengah tantangan geografis.
Selain itu, ada upaya serius untuk menjauhkan anak dari jangkauan industri candu, meskipun para produsen terus berkamuflase menjadi produk manipulatif bagi anak-anak.
Di sisi lain, muncul keinginan besar untuk mempersatukan anak-anak Indonesia sejak dini berdasarkan kawasan mereka, agar mereka mengenal dunia realita dan menjauhi “dunia simulakra digitalnya”. Anak-anak sejatinya membutuhkan dunia gerak, bermain, belajar, dan apresiasi, bukan berdiam dalam “peraduan digital”.
Contohnya terlihat dalam acara Hari Anak Nasional di CFD beberapa waktu lalu bersama Menteri PPPA, yang berupaya menghidupkan kembali imaji Indonesia melalui permainan tradisional—sebuah perlawanan terhadap dampak negatif digital.
Gerakan masif yang mengolah tubuh anak-anak Indonesia harus menjadi mainstreaming di setiap zona wilayah, untuk menumbuhkan kepedulian, kebersamaan, dan tumbuh kembang dalam suasana kolaborasi.
Ide untuk “memaksa” anak keluar dari peraduan digitalnya, bahkan sempat terlintas gagasan untuk “merubah dalam barak militer”, seperti yang terlihat dalam tontonan dari Tiongkok yang menjadi oase dan topik hangat di kalangan akademisi dan intelektual.
Ribuan anak bergerak tangkas, menyalurkan energi yang memang mereka butuhkan untuk tumbuh kembang, bukan membeku di hadapan gawai.
Video-video ketangkasan balita yang berani mengambil risiko dalam mini obstacle course juga menjadi semacam jawaban atas kekhawatiran orang tua terhadap pertumbuhan anak yang terhambat oleh “kotak sulap gawai”.
Kekhawatiran akan anak terlambat bicara, terlambat bersosialisasi, hingga dampak pada fisik, sensorik, dan psikomotorik di masa depan, menjadi isu krusial. Pernah ada upaya, di beberapa tempat, di mana aparat penegak hukum menjemput langsung anak-anak dari rumah untuk keluar dari dunia digital mereka—seolah mewakili suara hati kecil orang tua yang tak mampu melakukannya karena tafsir “kasih sayang yang berlebihan.”
Mimpi Pendidikan Ideal dan Optimisme yang Harus Terus Berkobar
Mimpi pendidikan tanpa beban nilai, yang menghargai proses pemahaman, keunikan, dan potensi anak, seperti yang terlihat di beberapa negara maju, terasa begitu jauh dan mahal bagi banyak orang tua di Indonesia.
Namun, di tengah semua tantangan, termasuk sindikasi perdagangan bayi yang terus muncul, rasa pesimisme seringkali menggelayuti. Apakah perayaan Hari Anak hanya sekadar hiburan yang tak menjawab kebutuhan riil anak, kemudian kembali pada keresahan tak berujung setelahnya?
Meski demikian, banyak anak Indonesia yang terus berprestasi, membangkitkan rasa nasionalisme dan optimisme kita akan potensi besar mereka. KPAI melihat situasi ini bukan sebagai kegagalan total, melainkan sebagai ajakan untuk bertindak lebih berani dalam memilih kepentingan terbaik anak di masa depan.
Kita tahu bagaimana mendekatkan masa depan itu dengan anak-anak agar menjadi kenyataan: anak-anak yang sadar akan potensinya, potensi keluarga, lingkungan, sekolah, masyarakat, budaya, bangsa, dan negaranya.
Optimisme harus terus dihidupkan. Negara harus berani mengejar pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menaruh risiko produk digital pada anak-anak. Di sisi lain, perlawanan juga harus disiapkan dengan memperkuat lingkungan dan anak-anak itu sendiri agar mampu melawan ancaman.
Memperluas kesempatan, akses, menumbuhkembangkan bakat dan minat dalam kondisi apapun adalah tantangan yang harus terus kita kerjakan.
Apa yang terjadi pada anak-anak saat ini bukanlah permintaan mereka, melainkan karena mereka terjebak dalam situasi yang sama, yang berpotensi menjadi “perlakuan salah sepanjang hayat”.
Tak bisa dipungkiri, masalah kerusakan alam dan lingkungan juga berdampak pada anak-anak, membuat mereka menjadi generasi reaktif dengan perilaku berisiko. Oleh karena itu, kesadaran akan alam dan lingkungan harus diutamakan bagi generasi selanjutnya, mempersiapkan mereka dengan berbagai alat pendukung dan membangun kesadaran akan dampak, agar lingkungan yang kondusif bagi perlindungan anak tercipta.
Jangan sampai Indonesia yang indah ini dilupakan dan dijauhi anak-anak karena minimnya persentuhan dengan realitas. Segala upaya ke arah ini harus menjadi agenda besar keberpihakan negara.
Satu hal yang tak kalah penting: perlindungan anak harus dimulai sejak dalam kandungan. KPAI mengusulkan UU Perlindungan Anak dilengkapi dengan RUU Pengasuhan Anak, memastikan pencatatan dan pengawasan sejak dini, serta peran RT/RW yang jelas untuk mencegah anak terlepas ke tangan yang salah.
Pemenuhan hak anak dari klaster 1 hingga 4 (hak dasar, kesehatan, pendidikan, partisipasi) harus menjadi sandaran program kerja, agar klaster 5 (anak yang membutuhkan perlindungan khusus) tidak terus bertambah.
Namun, ada upaya luar biasa dalam penanganan klaster 5 melalui penegakan hukum Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Undang-Undang Pemasyarakatan.
Tahun ini, Menteri Imipas melaksanakan remisi untuk 1.272 anak, menunjukkan semangat menghindari impunitas dan mengutamakan pemulihan dengan visi Diversi dan Restorative Justice. UU SPPA terus menunjukkan progres positif.
Sekali lagi, Indonesia harus optimis dengan penyelenggaraan perlindungan anak, yang membawa anak pada sensasi indah menikmati masa depannya di Indonesia. Dengan kelengkapan regulasi dan program yang telah diterbitkan, kita hanya membutuhkan prasyarat agar semua regulasi punya lingkungan yang kondusif dan anak-anak termampukan untuk memperjuangkan dirinya.
Semoga ini menjadi pesan optimis jelang Hari Anak Nasional ke-41 di Indonesia.
Tagline Hari Anak Nasional, “Semua Anak Indonesia Bersaudara”, membutuhkan prasyarat semua orang dewasa bersaudara untuk membangkitkan kesadaran akan alam, lingkungan, dan kemanusiaan. Dengan begitu, anak-anak dapat bertumbuh dalam “taman yang asri”, dan tumbuh berwarna-warni sesuai potensinya, serta menyadari bahwa Hari Anak perlu dirayakan sebagai bentuk perhatian negara terhadap generasi.
Penulis: Jasra Putra, Wakil Ketua KPAI
(Editor Aro)