siginews-Ponorogo – Pemerintah Kabupaten Ponorogo mendapatkan dukungan kuat dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dalam upaya pencegahan pernikahan dini.
Menariknya, kolaborasi ini melibatkan kehadiran Profesor Violeta Schubert dari University of Melbourne, Australia, yang merupakan bagian dari tim peneliti sosial Unair.
Diskusi bertajuk “Kemitraan Multisektoral Berbasis Interactive Governance dalam Pencegahan Pernikahan Dini” ini digelar di Pringgitan, rumah dinas Bupati Sugiri Sancoko, pada Senin (28/7/2025).
Meskipun angka pernikahan dini di Ponorogo terus menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun, Pemkab Ponorogo tetap serius memperkuat langkah-langkah pencegahan dengan dukungan akademisi dan pakar internasional.
Sinergi Pemkab Ponorogo dan Perspektif Ahli Internasional
Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, atau yang akrab disapa Kang Giri, menjelaskan bahwa Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) bersinergi kuat dalam program ini.
“Kami ingin generasi muda Ponorogo tumbuh menjadi pribadi yang berdaya, sehat, dan mampu mengambil keputusan secara sadar serta bijak tentang masa depan mereka,” ujar Kang Giri dalam siaran tertulisnya.
DPPKB telah memperkuat edukasi di tingkat remaja dan keluarga melalui 16 Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) dan mendirikan Pusat Informasi dan Konseling Remaja Generasi Berencana (PIK-R Genre) di desa-desa. Selain itu, program Bina Keluarga Remaja juga membekali orang tua agar mendukung anak menunda pernikahan.
“Dinkes bekerja sama dengan dinas pendidikan memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi remaja yang juga mengintegrasikan pendidikan karakter, layanan konseling, dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Upaya pencegahan pernikahan dini dilakukan secara keroyokan yang lahir dari pemahaman mendalam atas dinamika sosial masyarakat,” jelasnya.
Sementara, Profesor Violeta Schubert menambahkan dimensi global dalam diskusi ini. Ia menekankan bahwa pernikahan dini merupakan gejolak sosial yang tidak hanya bisa dijelaskan dari faktor ekonomi.
Menurutnya, penting sekali memahami realitas lokal yang terjadi di masyarakat, karena pernikahan dini adalah hasil dari kompleksitas sosial yang berkaitan dengan struktur keluarga, pola pikir masyarakat, ketimpangan gender, akses informasi dan pendidikan, hingga norma budaya serta agama.
Ia juga menjelaskan bahwa faktor internal masyarakat lebih dominan dibandingkan tekanan eksternal. Intervensi dari lembaga internasional seperti UNICEF atau UNESCO sekalipun, hanya akan efektif jika disesuaikan dengan konteks lokal.
“Apa yang terjadi di Ponorogo tidak bisa dibandingkan secara langsung dengan daerah lain. Kita perlu memahami nilai-nilai dan praktik yang hidup di masyarakat, bukan sekadar menerapkan standar dari luar,” jelasnya.
Strategi Berkelanjutan dan Komitmen Kolaborasi
Sulikah Asmorowati, perwakilan Program Pengabdian Masyarakat (PPM) Unair, mengusulkan sejumlah strategi berkelanjutan.
Di antaranya, pembentukan gugus tugas agar upaya pencegahan pernikahan dini lebih terarah dan terkoordinasi, serta pengembangan sistem data terpadu satu pintu untuk pemantauan dan evaluasi kasus yang lebih menyeluruh.
“Kolaborasi dengan aktor lokal di tingkat desa juga sangat krusial, karena mereka memiliki pemahaman mendalam terhadap dinamika sosial masyarakat setempat,” jelasnya.
Strategi lainnya adalah memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi ke kurikulum lokal untuk memperkuat kesadaran remaja sejak dini, serta penerapan program insentif ekonomi bagi keluarga rentan agar pernikahan dini tidak lagi menjadi pilihan.
“Namun seluruh strategi tidak akan memberikan dampak signifikan tanpa komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dan kolaborasi yang inklusif dari semua pihak,” tutup Sulikah.
Sinergi antara akademisi lokal dan pakar internasional ini diharapkan mampu melahirkan strategi pencegahan pernikahan dini yang lebih adaptif dan berkelanjutan, selaras dengan karakteristik sosial budaya masyarakat Ponorogo.
(Editor Aro)