siginews-Surabaya – Kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mendorong pemblokiran rekening tidak aktif selama tiga bulan belakangan menuai kritik.
Meskipun tujuannya mulia—yakni mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme—kebijakan ini dinilai mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan hukum, keadilan sosial, dan pelayanan publik.
PPATK memang memiliki mandat berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, dalam implementasinya, tidak semua rekening pasif bisa diasumsikan bermasalah. Banyak masyarakat yang menyimpan dana jangka panjang, memiliki rekening cadangan untuk kebutuhan mendesak, atau sekadar pasif karena tidak rutin bertransaksi. Lalu, apakah wajar jika rekening semacam ini diblokir tanpa adanya pelanggaran?
Aspek Hukum: Hak Atas Harta dan Kepastian Hukum
Konstitusi menjamin kepastian hukum yang adil. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan perlindungan atas hak miliknya.
Pemblokiran sepihak tanpa notifikasi yang jelas dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak milik warga negara. Selain itu, tidak adanya proses klarifikasi yang memadai atau mekanisme keberatan yang cepat menempatkan masyarakat dalam posisi yang sangat lemah secara hukum.
Kemaslahatan Vs Kerugian Sosial
Dari sisi manfaat, kebijakan ini tentu saja bisa mempersempit ruang pelaku kejahatan finansial. Namun, secara sosial kebijakan ini juga menciptakan kerugian massal. Banyak warga melaporkan tidak dapat mengakses tabungannya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Beberapa di antaranya adalah orang tua yang menabung untuk pendidikan anak atau pekerja informal yang menyimpan dana cadangan.
Dalam konteks keadilan sosial, prinsip utilitarianisme atau kemaslahatan umum tidak bisa dijadikan dalih untuk melanggar hak minoritas yang dirugikan secara konkret. Terlebih, tidak semua rekening pasif identik dengan tindak kriminal.
Pelayanan Publik yang Tidak Sejalan
Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pemerintah wajib memberikan layanan yang transparan, adil, dan akuntabel. Namun, pemblokiran otomatis tanpa sosialisasi dan kanal penyelesaian cepat justru bertentangan dengan asas pelayanan yang baik.
Jika negara hadir untuk melayani, maka pendekatan “block first, explain later” justru memperlihatkan wajah negara yang represif. Bahkan bank pun sering kali tidak dapat menjelaskan secara rinci alasan pemblokiran, karena hanya mendapat perintah teknis dari PPATK.
Solusi yang Lebih Berkeadilan
Notifikasi dan Klarifikasi: PPATK sebaiknya mewajibkan bank mengirimkan pemberitahuan dan permintaan klarifikasi kepada pemilik rekening sebelum pemblokiran.
Kebijakan Berdasarkan Risiko: Tidak semua rekening pasif perlu diperlakukan sama. Harus ada pemetaan berdasarkan profil risiko.
Mekanisme Banding: Harus disediakan jalur formal untuk mengajukan keberatan, termasuk diatur batas waktunya.
Kebijakan pemblokiran rekening tidak aktif oleh PPATK perlu ditinjau ulang. Pencegahan kejahatan finansial memang penting, tapi tidak boleh mengorbankan hak konstitusional warga negara. Negara semestinya menjadi pelindung, bukan pemicu keresahan.
Penulis :
Ahmat Trisno, S.H., M.H.
*Anggota Kompartemen Hukum Perkumpulan Indonesia Muda (PIM) Jawa Timur.
*Alumnus Fakultas Syariah dan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya