siginews-Tulungagung – Penasehat Persatuan Penyuluh Desa Indonesia (PPDI) Jawa Timur, KH. Imam Mawardi Ridlwan, menyoroti penanganan tanah adat yang dinilai masih kurang optimal.
Ia menjelaskan bahwa tanah adat adalah lahan yang dikelola secara turun-temurun oleh masyarakat dan seringkali tidak memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). Lahan ini menjadi sumber kehidupan sekaligus memiliki nilai sakral bagi masyarakat setempat.
“Cirinya biasanya telah dikuasai masyarakat, bukan individual, untuk sumber pangan dan ada nilai kesakralan yang menjadi dan simbol kehidupan masyarakat,” ujar Abah Imam, sapaan akrabnya saat ditemui langsung oleh tim siginews.com, pada Rabu (20/8/2025).
Menurut Abah Imam, sudah saatnya semua pihak memprioritaskan kembali pemanfaatan tanah adat untuk kemakmuran rakyat.
Ia mengingatkan pentingnya merujuk pada konstitusi negara, khususnya UUD 1945 Pasal 18B ayat 2, yang secara eksplisit mengakui hak masyarakat adat atas tanah mereka.
“Penting untuk kembali merujuk pada konstitusi negara, khususnya UUD 1945 Pasal 18B ayat 2, yang secara eksplisit mengakui hak masyarakat adat atas tanah mereka. Jadi negara telah memberikan pengakuan konstitusional terhadap hak masyarakat adat. Maka sudah seharusnya kita semua kembali ke ruh konstitusi dan memperjuangkan tanah adat sebagai sumber kehidupan rakyat,” ujarnya.
Ia berharap semua pihak mengkaji kembali Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 membuka ruang legal bagi pengakuan tanah adat. Dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi milik negara, melainkan milik masyarakat adat.
“Pemerintah daerah memiliki peran melindungi dan membela hak rakyat agar tanah adat menjadi sumber pangan dan kesejahteraan,” harapnya
Ia menutup penjelasan agar dihindari potensi konflik sosial akibat penguasaan tanah adat oleh oknum tertentu. Ia berharap semua pihak bijaksana. Sebaliknya menghindari disintegrasi sosial karena masyarakat kehilangan lahan secara permanen.
“Jangan sampai kepentingan segelintir oknum menyebabkan konflik horizontal. Ini bisa memicu kemiskinan struktural yang berkepanjangan. Musyawarah harus menjadi jalan utama untuk melindungi masyarakat penggarap tanah adat,” tutupnya.
(Editor Aro)