Siginews – Surabaya – Pada tanggal 25 Maret 2025, Rancangan Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) telah diundangkan. Kebijakan ini kemudian memicu reaksi penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Perhatian utama tertuju pada ketentuan Pasal 47 dalam UU TNI yang baru disahkan.
Pasal 47 tersebut menjadi sumber utama keberatan publik dikarenakan memberikan peluang bagi personel TNI untuk menduduki sejumlah jabatan sipil. Tercatat dalam pasal tersebut terdapat 14 jabatan sipil yang bisa diduduki oleh TNI.
Hal ini menimbulkan potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang, mengingat adanya ambiguitas dalam mekanisme penegakan hukum terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana dalam kapasitas jabatan publik.
Kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Marsdya Henri Alfiandi, menjadi ilustrasi konkret dari permasalahan ini.
Kendati masih berstatus sebagai prajurit aktif, dugaan tindak pidana korupsi senilai Rp8,6 miliar tersebut terjadi dalam konteks pelaksanaan tugas pada jabatan sipil.
Implikasinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan secara mandiri, dan proses hukum yang bersangkutan harus melalui mekanisme peradilan militer.
Situasi ini berpotensi melemahkan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang seharusnya memiliki kewenangan penuh dan khusus dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Secara implisit, hal ini dapat diinterpretasikan sebagai pemberian semacam imunitas kepada anggota TNI yang menduduki jabatan sipil dalam hal terjadinya tindak pidana.
Permasalahan ini berakar pada adanya celah hukum dalam Pasal 65 Ayat (3) Undang-undang TNI, yang secara konsisten dijadikan dasar argumentasi untuk mengadili anggota TNI yang menduduki jabatan sipil melalui peradilan militer, sehingga menghambat intervensi independen dari KPK.
Untuk mengatasi permasalahan ini, revisi Undang-undang Peradilan Militer menjadi krusial dan mendesak untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
(Penulis Galuh/Editor Aro)