Siginews-Jakarta – Laporan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang menemukan kandungan babi (porcine) dalam sejumlah produk berlogo Halal sontak menghentak kesadaran publik, Selasa (22/4).
Bagaimana mungkin label suci yang seharusnya menjadi jaminan keyakinan konsumen justru menyimpan potensi pelanggaran nilai-nilai agama? Pertanyaan besar menggelayuti benak: apakah ini sekadar kecolongan, kelalaian yang tak termaafkan, atau bahkan indikasi kesengajaan yang lebih dalam?
Ingatan kita belum sepenuhnya pudar dari tragedi anak-anak yang meregang nyawa akibat obat sirup bermasalah. Di sana, perubahan komposisi secara diam-diam menjadi biang keladi petaka. Kini, kasus marshmallow dan gelatin berlabel Halal namun terbukti mengandung unsur haram memunculkan kembali keraguan serupa. Lantas, di mana mata pengawasan BPOM, BPJPH, Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta lembaga-lembaga pengawas konsumen dan produk halal lainnya? Inilah simpul krusial yang mendesak untuk diurai tuntas oleh aparat kepolisian.
Deretan produk yang telah diumumkan, mulai dari Corniche Fluffy Jelly Marshmallow hingga Hakiki Gelatin, bukan sekadar camilan biasa. Daya tarik visualnya yang kuat, dengan berbagai bentuk lucu dan warna-warni cerah, menjadikannya primadona di kalangan anak-anak. Ironisnya, produk-produk yang dipasarkan dengan begitu apik, bahkan tak jarang di-endorse oleh figur publik, kini terbukti sebagai kamuflase yang menipu, terutama bagi konsumen yang paling rentan: anak-anak.
Jika terbukti ada kelalaian atau kesengajaan dalam kasus ini, sanksi tegas dari kepolisian adalah sebuah keniscayaan. Ini bukan sekadar persoalan pangan, melainkan menyentuh ranah keyakinan dan tumbuh kembang generasi penerus bangsa. Pemerintah tidak bisa tinggal diam. Produk-produk ini, dengan segala daya pikatnya, telah merasuk ke dalam keseharian anak-anak, bahkan berpotensi menjadi alat pembelajaran yang menyesatkan karena label Halal palsunya.
Kerugian akibat penipuan ini tidak hanya dirasakan konsumen akhir. Para pedagang kecil yang dengan polosnya menjajakan produk ini juga akan menanggung beban finansial. Siapa yang akan bertanggung jawab atas kerugian mereka? Bagaimana mekanisme penarikan produk secara efektif dapat dipastikan, mengingat peredarannya yang masif, terutama melalui platform e-commerce? Data penjualan yang fantastis di berbagai toko online menjadi indikasi betapa luasnya jangkauan produk bermasalah ini. Kita berharap Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) turut aktif memantau peredaran produk ini di dunia maya.
Langkah preventif menjadi krusial. Himbauan kepada para pedagang untuk melakukan pengecekan mandiri adalah langkah awal yang penting. Namun, kasus Hakiki Gelatin, yang merupakan bahan dasar berbagai makanan dan minuman, membuka potensi masalah yang jauh lebih luas. Bisa jadi, produk-produk lain yang seharusnya halal justru terkontaminasi bahan haram ini tanpa sepengetahuan konsumen.
KPAI dengan tegas mendesak agar laboratorium yang mengeluarkan sertifikasi Halal segera diaudit. Transparansi dan akuntabilitas lembaga ini menjadi prasyarat mutlak untuk memulihkan kepercayaan publik. Kita perlu menahan diri, namun investigasi mendalam harus segera dilakukan untuk mengungkap akar permasalahan: apakah masalah terletak pada integritas lembaga sertifikasi atau pada praktik curang perusahaan produsen yang mengubah komposisi produk di tengah jalan?
Hak konsumen tidak boleh diabaikan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara jelas mengatur tanggung jawab pelaku usaha. Para penjual, pedagang, hingga pelaku usaha besar yang terlibat dalam peredaran produk ini juga memiliki tanggung jawab, mengingat produk ini telah dikonsumsi secara luas oleh anak-anak. Pasal 19 UUPK secara eksplisit mengatur ganti rugi atas kerugian konsumen akibat produk yang diperdagangkan. Dalam kasus ini, jelas kesalahan tidak berada di pihak konsumen.
Lebih lanjut, Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan label Halal yang dicantumkan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berujung pada pidana penjara dan denda yang signifikan. Mari kita bersama-sama menyelamatkan generasi kita dari produk yang tidak jelas kehalalannya. Undang-undang telah memberikan jaminan, namun keberpihakan dan pengawasan kita semua, terutama terhadap konsumen anak yang rentan, adalah kunci utama.
Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan peraturan turunannya, seperti PP Nomor 42 Tahun 2024, secara tegas mewajibkan sertifikasi Halal bagi produk yang beredar di Indonesia, kecuali produk yang berasal dari bahan haram yang wajib mencantumkan keterangan “Tidak Halal” dengan jelas. Kasus ini jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut. BPJPH memiliki kewajiban untuk mengumumkan produk yang melanggar dan pelaku usaha wajib menarik produk dari peredaran.
Selain isu Halal, KPAI juga mengingatkan bahaya kandungan minyak, gula, lemak, dan garam (GGLG) berlebih dalam produk makanan anak yang memicu obesitas dan berbagai penyakit kronis di usia dini. Produk-produk menarik bagi anak seringkali luput dari perhatian orang tua terkait kandungan GGLG-nya. Lonjakan kasus diabetes pada anak yang mencapai 70 kali lipat sejak 2010 dan tingginya angka penyakit jantung bawaan menjadi alarm bagi kita semua. Konsumsi produk dengan kandungan GGLG berlebih di masa tumbuh kembang akan menjadi bom waktu bagi kesehatan anak-anak kita.
Oleh karena itu, perlindungan anak dari produk yang melebihi ambang batas kandungan berbahaya adalah tanggung jawab kita bersama. UU Kesehatan pun secara jelas mengamanatkan bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi harus memenuhi ketentuan jaminan produk Halal. Sinergi antara BPOM, BPJPH, dan kepolisian dalam menindaklanjuti temuan ini adalah krusial demi perlindungan konsumen, terutama anak-anak, dan demi kepentingan terbaik mereka.
KPAI mengimbau masyarakat untuk tidak lagi membeli produk-produk yang telah diumumkan. Media massa diharapkan terus mengedukasi dan menyebarkan informasi ini. KPAI akan segera berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait untuk mencari solusi dan mencegah terulangnya kasus serupa. Pengalaman pahit seorang ayah yang mendapati anaknya mengonsumsi produk bermasalah ini sejak lama menjadi catatan penting bagi KPAI. Pemerintah pusat dan daerah perlu memperluas informasi dan edukasi hingga ke tingkat desa.
Belajar dari kasus obat sirup yang memakan banyak korban, di mana ada indikasi pengelabuan petugas, maka investigasi mendalam terhadap kasus makanan dan minuman mengandung babi ini tidak bisa ditunda. Bagaimana pengawasan berkala selama ini berjalan? Kepolisian perlu segera turun tangan mengumpulkan bukti-bukti adanya potensi penipuan atau perubahan komposisi produk secara ilegal. Produk lain dari perusahaan yang sama juga perlu diawasi ketat.
Sebagai orang tua, kita perlu membekali diri dengan pengetahuan. Periksa kandungan gizi seimbang, pastikan logo Halal tercantum dengan jelas dan mudah dibaca, serta perhatikan tanggal kedaluarsa produk sebelum membeli dan memberikannya kepada anak-anak kita. Jajanan di sekitar rumah dan sekolah juga perlu menjadi perhatian bersama.
KPAI membuka layanan pengaduan bagi masyarakat yang memiliki informasi terkait kasus ini melalui hotline dan email yang tersedia. Masyarakat juga dapat memanfaatkan call center Kementerian Agama dan link pengecekan produk Halal dari BPJPH. Jangan ragu untuk menghubungi hotline Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak jika menemukan indikasi pelanggaran hak-hak anak.
Kasus ini adalah tamparan keras bagi sistem jaminan produk Halal di Indonesia. Kepercayaan publik yang telah terkoyak harus segera dipulihkan. Transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang kembali. Masa depan generasi kita ada di tangan kita. Jangan biarkan mereka menjadi korban ketidakbertanggungjawaban segelintir pihak.
Selanjutnya KPAI akan memantau apakah produk ini sudah ditarik dari peredaran, dengan membuka layanan pengaduan yang dapat di akses masyarakat di nomor Hotline Whatsapp Pengaduan KPAI di 0811-1002-7727 atau email pengaduan@kpai.go.id. Masyarakat juga bisa mengisi Form Pengaduan KPAI di link https://www.kpai.go.id/hubungi-kami
Masyarakat juga dapat menuju call center Kementerian Agama di nomor 146 untuk informasi dan konsultasi sertifikasi halal. Atau cek produk halal di link https://bpjph.halal.go.id
Juga Hotline Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang tersebar di beberapa daerah dengan mengakses info kontak di https://kemenpppa.go.id/page/view/konten/MTQ2 atau menghubungi SAPA 129 atau melalui Hotline Whatsapp 0811-1129-129
Oleh Jasra Putra, Wakil Ketua KPAI
(Editor Aro)