Oleh Dr. Jasra Putra, S.Fil.I,.M.Pd (Komisioner KPAI)
Anak-anak adalah masa depan bangsa. Kualitas mereka hari ini akan menentukan bagaimana Indonesia di masa depan. Data BPS 2023 mencatat bahwa populasi anak Indonesia mencapai 30,2 juta jiwa, sepertiga dari total penduduk.
Namun, di balik angka tersebut, tersimpan berbagai permasalahan kompleks yang mengancam tumbuh kembang mereka, salah satunya adalah kekerasan.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan bahwa 1 dari 2 anak usia 13-17 tahun pernah mengalami setidaknya satu kali kekerasan sepanjang hidupnya. Ini adalah alarm bagi kita semua. Kekerasan tidak hanya meninggalkan luka fisik, tapi juga trauma psikologis yang mendalam dan dapat mempengaruhi masa depan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebagai lembaga negara independen yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, memiliki peran krusial dalam memastikan hak-hak anak terpenuhi dan mereka terlindungi dari segala bentuk kekerasan. KPAI tidak hanya menerima aduan, tapi juga melakukan pengawasan aktif terhadap berbagai isu yang berkaitan dengan anak.
Fokus Pengawasan KPAI
Di tahun 2024, yakni pengawasannya pada dua klaster utama: Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA). Klaster PHA mencakup isu-isu krusial seperti pemilu ramah anak, percepatan pemenuhan hak anak atas identitas, pencegahan perkawinan anak, isu pengasuhan, anak putus sekolah, stunting, dan implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat pendidikan dan bermain anak.
Sementara itu, Klaster PKA mengawasi isu-isu yang lebih spesifik dan rentan, seperti kekerasan pada anak, perundungan, praktik Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), eksploitasi anak seksual dan ekonomi, anak dan terorisme, bunuh diri anak, perlindungan anak di ruang digital, pekerja anak, serta anak minoritas dan wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
Metode Pengawasan KPAI
KPAI melakukan pengawasan mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Tujuannya adalah untuk memantau kemajuan dan tantangan dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan anak, sehingga dapat merumuskan rekomendasi yang solutif. Metode pengawasan yang dilakukan antara lain:
1. Rapat koordinasi dengan Kementerian/Lembaga (K/L) atau Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengumpulkan informasi dan melakukan klarifikasi.
2. Pendalaman hasil rapat koordinasi dengan pengawasan lapangan, termasuk memastikan suara anak didengar.
3. Memastikan lembaga-lembaga layanan di bawah koordinasi K/L dan Pemda (UPTD PPA, Balai Rehabsos Anak, Rumah Aman, LPKA, LPKS) serta aparat penegak hukum menjalankan fungsinya.
4. Penyusunan rekomendasi hasil pengawasan.
5. Advokasi rekomendasi hasil pengawasan kepada pihak-pihak terkait, khususnya Pemerintah, baik tingkat nasional maupun daerah, agar menghasilkan perubahan yang lebih berdampak bagi anak.
Data dan Tantangan
Sepanjang tahun 2024, KPAI menerima 2.057 pengaduan, di mana 954 kasus telah ditindaklanjuti hingga tahap terminasi. Sisanya diberikan layanan psikoedukasi dan rujukan ke penyedia layanan setempat. Pengawasan kasus dilakukan di 78 wilayah, mencakup kedua klaster, PHA dan PKA. Isu terbanyak yang muncul adalah lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (1.097 kasus), anak korban kejahatan seksual (265 kasus), anak dalam pemenuhan pendidikan, pemanfaatan waktu luang, budaya, dan agama (241 kasus), anak korban kekerasan fisik dan psikis (240 kasus), serta anak korban pornografi dan cyber crime (40 kasus).
Data ini menunjukkan bahwa tantangan perlindungan anak di Indonesia masih sangat besar. Anak-anak dari berbagai rentang usia menjadi korban, dengan jumlah terbesar pada balita usia di bawah 5 tahun (581 kasus). Mereka rentan karena kondisi fisik dan psikologis mereka yang masih berkembang. Ironisnya, kasus-kasus ini seringkali melibatkan orang tua, terutama ayah kandung (259 kasus) dan ibu kandung (173 kasus).
KPAI mencatat beberapa kasus yang menjadi perhatian utama sepanjang tahun 2024. Kasus-kasus tersebut meliputi:
1. Kasus dalam Keluarga dan Pengasuhan Alternatif: Kasus ini paling banyak dengan 1097 kasus. Jenis kasus yang paling banyak dilaporkan adalah kasus pengasuhan bermasalah atau konflik orang tua, kasus pemenuhan hak anak, dan kasus perebutan kuasa asuh.
2. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: terdapat 265 pengaduan kasus kekerasan seksual terhadap anak, dimana 53 kasus diantaranya telah dilakukan pengawasan. Sisanya dirujuk ke lembaga layanan untuk mendapatkan pendampingan dan penanganan lebih lanjut.
3. Hambatan dalam Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, Budaya, dan Agama: Terdapat 241 kasus anak yang mengalami hambatan dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Kasus tertinggi adalah kasus perundungan di satuan pendidikan yang tidak tercatat di kepolisian, kasus kebijakan sekolah, kasus kebijakan di lingkungan pendidikan, dan kasus diskriminasi karena tunggakan pembayaran SPP.
4. Kekerasan Fisik dan Psikis: Terdapat 240 kasus anak yang menjadi korban kekerasan fisik dan psikis. Kasus tertinggi adalah anak korban penganiayaan, pengeroyokan, perkelahian, anak korban kekerasan psikis, anak korban pembunuhan, dan anak korban tawuran.
5. Pornografi dan Kejahatan Dunia Maya: terdapat 41 kasus anak yang menjadi korban pornografi dan kejahatan dunia maya. Kasus yang paling sering dilaporkan adalah anak korban kejahatan seksual dan perundungan di dunia maya.
6. Hambatan dalam Pemenuhan Hak Sipil: Terdapat 22 kasus anak yang mengalami hambatan dalam pemenuhan hak sipil, dengan kasus tertinggi terkait kesulitan anak dalam memperoleh identitas.
7. Hambatan dalam Pemenuhan Hak Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan: Terdapat 18 kasus anak yang mengalami hambatan dalam pemenuhan hak kesehatan dasar dan kesejahteraan. Kasus terbanyak terkait anak sebagai korban malpraktik layanan kesehatan, pemenuhan hak kesehatan dasar, serta layanan jaminan sosial.
8. Anak Korban Jaringan Terorisme: Anak-anak juga menjadi korban jaringan terorisme akibat pemahaman agama yang salah.
9. Eksploitasi Ekonomi dan Seksual: Kasus eksploitasi ekonomi dan seksual pada anak didominasi oleh prostitusi yang melibatkan anak, TPPO, jual beli bayi dan pekerja anak.
10. Anak-anak di Wilayah 3T: Anak-anak di wilayah 3T memerlukan perhatian serius dari semua pihak, terutama pemerintah. Beberapa wilayah 3T bahkan mengalami komplikasi masalah karena situasi khusus seperti konflik.
11. Pemilu dan Pilkada Serentak 2024: Terdapat indikasi yang masif keterlibatan anak dalam kegiatan Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024. KPAI mencatat beberapa kasus eksploitasi dan penyalahgunaan anak dalam konteks politik selama Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024.
KPA aktif melakukan pengawasan dan menampung aspirasi anak-anak. Pada tahun 2024, KPAI mengadakan dua konsultasi daring dengan anak-anak, membahas perlindungan anak di dunia maya dan situasi pemenuhan hak anak. KPAI tidak hanya berinteraksi dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, tetapi juga langsung dengan anak-anak untuk memastikan pengawasan yang akurat dan komprehensif.
Berdasarkan pengawasan yang dilakukan KPAI, terdapat beberapa rekomendasi strategis:
1. Pemerintah Daerah: Didorong untuk mencapai target 100% pemenuhan akta kelahiran dan menjadikan perlindungan anak sebagai fokus pembangunan wilayah.
2. Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu: Diminta untuk menggunakan perspektif hak anak dalam agenda politik.
3. Badan Gizi Nasional: Diajak untuk melibatkan anak-anak dalam proses “mendengar pendapat anak” terkait program Makan Bergizi Gratis.
4. Kementerian PPPA dan Mahkamah Agung: Diminta untuk menyusun peraturan terkait pencegahan perkawinan anak dan memperketat prosedur isbat nikah.
5. Pemerintah Pusat dan Daerah: Didorong untuk membuat standar nasional layanan pengasuhan dan melakukan pengawasan yang berkelanjutan.
6. Pemerintah Daerah: Diminta untuk merevisi peraturan terkait Kawasan Tanpa Rokok untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif tembakau.
7. Pemerintah Pusat dan Daerah: Didorong untuk memperkuat koordinasi dalam penanganan stunting.
8. Pemerintah: Diminta untuk mewujudkan sistem satu data pendidikan nasional dan melakukan pemetaan ulang terhadap akses dan mutu pendidikan.
9. Satuan Pendidikan: Diminta untuk tidak mengeluarkan peserta didik yang terlibat dalam kasus kekerasan atau lainnya.
10. Pemerintah: Didorong untuk mengembangkan pendekatan pencegahan yang inovatif dalam berbagai lingkungan.
11. Pemerintah: Diminta untuk memiliki strategi komprehensif dalam RAN-PE.
12. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum: Diminta untuk menangani kasus kekerasan terhadap anak secara komprehensif.
13. Kementerian Dalam Negeri: Diminta untuk memastikan setiap daerah memiliki lembaga layanan yang memadai bagi anak berhadapan hukum.
14. Aparat Penegak Hukum: Diminta untuk menyelesaikan kasus anak dengan cepat dan transparan.
15. Seluruh Pemangku Kepentingan: Didorong untuk meningkatkan koordinasi dalam penanganan kasus perdagangan orang.
Perlindungan anak adalah perjuangan yang panjang dan memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak.
Mari Lindungi Anak-anak Kita. Mereka adalah investasi masa depan bangsa. Jika kita gagal melindungi mereka, maka kita telah menggadaikan masa depan Indonesia.
Oleh Dr. Jasra Putra, S.Fil.I,.M.Pd
Komisioner KPAI
(Aro)