Ilustrasi (Foto: dok.pix/editing.aro)
Gawat! Sanksi AS ke Rusia Ancam Dompet Warga Indonesia, Ini Jelasnya
Nasional – Inflasi dalam negeri diperkirakan akan mengalami kenaikan pada tahun 2025. Faktor pemicunya antara lain kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 dan meroketnya harga minyak dunia pasca sanksi terbaru AS terhadap sektor minyak Rusia yang diumumkan pada hari Jumat (10/1/2025).
Langkah ini bertujuan untuk memotong pendapatan yang digunakan Moskow untuk membiayai perang di Ukraina. Para pedagang dan analis memprediksi bahwa sanksi ini akan berdampak besar pada ekspor minyak Rusia, memaksa importir utama seperti China dan India untuk mencari alternatif pasokan dari Timur Tengah, Afrika, dan Amerika. Perubahan ini diperkirakan akan mendorong kenaikan harga minyak dan biaya pengiriman.
Harga minyak mencatat kenaikan untuk sesi ketiga berturut-turut pada Senin, membawa Brent melampaui $81 per barel dan mencapai level tertinggi sejak 27 Agustus.
Pada pukul 01.13 GMT, Brent naik $1,48 (1,86%) ke $81,24 per barel, setelah sempat menyentuh $81,49. WTI juga menguat signifikan, naik $1,53 (2%) ke $78,10 per barel, setelah mencapai puncak $78,39, level tertinggi sejak 8 Oktober. Kenaikan harga minyak Brent dan WTI terus berlanjut, mencatat peningkatan lebih dari 6% sejak 8 Januari.
Hal tersebut disampaikan Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Myrdal Gunarto yang memprediksi, inflasi Indonesia diperkirakan bakal mengalami kenaikan ke 2,53% YoY pada 2025.
Dikatakan, beberapa faktor yang mendorong tingkat inflasi pada akhir tahun ini, terutama peningkatan harga pangan akibat permintaan tinggi di akhir tahun Nataru yang mengakibatkan kenaikan biaya transportasi, dan kenaikan harga komoditas tertentu. Selain itu peningkatan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5%, serta potensi gangguan iklim yang dapat memengaruhi pasokan pangan.
Negara-negara pengimpor perlu mewaspadai risiko global berupa proteksionisme perdagangan dari negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan China, karena kebijakan tersebut dapat mengganggu distribusi barang impor esensial.
(Aro)