AS – Kebijakan pengetatan dan pengawasan keras terhadap imigran, kembali digencarkan oleh pemerintahan Republik Donald Trump dengan mengerahkan 1000 tentara ke perbatasan negara pada Rabu (22/1/2025). Menurutnya 11 juta diduga sebagai imigran gelap yang berada di AS secara ilegal atau berstatus sementara pada tahun 2022.
Trump telah mengeluarkan larangan keras terhadap pemberi suaka yang melindungi para imigran gelap. Langkah ini untuk membatasi kewarganegaraan bagi anak-anak yang lahir di tanah Amerika.
Perintah investigasi terhadap para pejabat Negara bagian yang menolak penegakan hukum imigrasi telah dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Langkah ini merupakan bagian dari peningkatan intensitas tindakan keras bagi imigran ilegal yang telah berlangsung sejak awal masa jabatannya.
Melalui memo, Wakil Jaksa Agung Emil Bove menginstruksikan staf Departemen Kehakiman untuk memastikan kerja sama otoritas negara bagian dan lokal dengan penegak hukum imigrasi dan jaksa federal.
Bove juga menambahkan bahwa Departemen Kehakiman dapat menentang undang-undang yang menghalang-halangi upaya tersebut.
Kebijakan ini dikeluarkan seiring persiapan pemerintahan Republik untuk meningkatkan pengawasan imigrasi ilegal di kota-kota dengan populasi migran yang besar, yang berpotensi memicu konfrontasi dengan pejabat di kota-kota seperti New York dan Chicago yang membatasi kerja sama dalam upaya tersebut.
Departemen Kehakiman AS akan mempidanakan, tidak hanya kepada imigran dan pemberi kerja mereka, tetapi juga kepada pejabat kota dan negara bagian.
Saat ini Pemerintah Trump telah mencabut kebijakan lama dari Partai Demokrat, Joe Biden, yang membatasi penangkapan imigrasi di dekat sekolah, gereja, dan tempat-tempat sensitif lainnya.
Trump juga memberikan kewenangan kepada petugas imigrasi untuk mendeportasi migran yang tidak dapat membuktikan bahwa mereka telah berada di AS selama lebih dari dua tahun. Proses pemeriksaan dengan jangka waktu 60 hari.
Dukungan rencana Trump mendeportasi massal diperkuat melalui Survei polling ke warga Amerika. Alhasil warga Amerika terbelah dalam penilaian.
Hasilnya menunjukkan 39% setuju bahwa imigran gelap harus ditangkap dan dimasukkan ke kamp penahanan sambil menunggu sidang deportasi, sementara 42% tidak setuju dan sisanya tidak yakin.
Sekitar 46% responden mengatakan mereka menyetujui cara Trump menangani kebijakan imigrasi, sementara 39% tidak setuju. Sebagian besar responden yang mendukung penangkapan massal mengaku sebagai anggota Partai Republik, sementara sebagian besar yang tidak mendukung mengaku sebagai anggota Partai Demokrat.
Jajak pendapat yang mensurvei orang dewasa di seluruh negeri pada 20-21 Januari menemukan 58% responden setuju bahwa AS harus “secara drastis mengurangi jumlah migran yang diizinkan untuk mengklaim suaka di perbatasan,” sementara 22% tidak setuju.
Respon pihak pemerintah Negara bagian
Sebanyak 4 juta lebih imgran berlindung di negara bagian dengan undang-undang “suaka” yang membatasi kerja sama dengan otoritas imigrasi federal. Angka tersebut tidak termasuk mereka yang berada di kota dan daerah suaka di tempat-tempat tanpa undang-undang di seluruh negara bagian, seperti New Mexico.
Di Meksiko, pihak pemerintaj telah mulai membangun tenda-tenda tempat penampungan raksasa di kota Ciudad Juarez untuk mempersiapkan kemungkinan masuknya warga Meksiko yang dideportasi.
Sementara, Presiden Kolombia Gustavo Petro, selama perjalanan ke Haiti, menyuarakan persatuan dalam menghadapi kebijakan pengetatan pembatasan imigrasi di Amerika Serikat.
“Mereka tidak menginginkan warga Haiti, mereka tidak menginginkan warga Venezuela… mereka tidak menginginkan warga Kolombia,” katanya.
Lanjutnya, “Baiklah, mari kita biarkan mereka sendiri untuk sementara waktu dan lihat bagaimana keadaannya. Saya yakin kita akan saling membantu, dan mereka yang mengusir kita akan berakhir sendirian,” tegas Gustavo.(Aro)