Jombang – Kabupaten Jombang dinilai belum ramah disabilitas oleh Aliansi Disabilitas Jombang (ADJ). Mereka menilai program layanan disabilitas yang ada belum sebanding dengan komitmen Pemerintah Daerah untuk menghadirkan kebijakan yang berpihak pada disabilitas.
Harapan akan perubahan kini berada di pundak Bupati dan Wakil Bupati Jombang terpilih, H Warsubi dan Salmanuddin Yazid (Gus Salman), yang akan segera dilantik.
Menurut Koordinator ADJ, Adib Sumarsono, ada berbagai masalah mendasar yang dihadapi disabilitas di Jombang. Di antaranya, perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual kesulitan mengakses hak-hak mereka untuk mendapatkan pemulihan.
“Belum ada jaminan ruang aman dan inklusif bagi disabilitas untuk terbebas dari perilaku kekerasan bahkan pada level satuan pendidikan,” ucap Adib saat konsolidasi ADJ di Kantor Women Crisis Center (WCC) Kabupaten Jombang Jalan Pattimura Selatan No.7 Blok pada Selasa (18/2/2025) sore.
Contoh kasus pada tahun 2024 lalu, seorang remaja disabilitas perempuan berusia 17 tahun, ACS, menjadi korban pelecehan seksual oleh oknum guru di Kabupaten Jombang. Pengadilan Negeri Jombang menghukum pelaku dengan vonis 8 tahun 6 bulan penjara dan mewajibkan pembayaran restitusi kepada ACS sebesar Rp 5.672.000,00.
“Namun sejak putusan berkekuatan hukum tetap, tidak satupun struktur pelaksana kebijakan baik pemerintah dan institusi penegak hukum di Kabupaten Jombang mendorong upaya eksekusi restitusi untuk mendukung pemenuhan hak korban atas pemulihan dan pemberdayaannya,” terang Adib.
Dukungan Pemberdayaan Disabilitas Sukar didapat
Pendamping korban di WCC Jombang melaporkan bahwa dukungan pemberdayaan tidak hanya sukar didapatkan perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan.
“Selama ini program pemberdayaan yang diinisiasi oleh Pemerintah Daerah masih jauh dari kata keberlanjutan. Terlebih sampai yang kekerasan seksual ini sangat berbahaya,” ujar Adib.
Kekerasan seksual terhadap individu dengan disabilitas dapat menimbulkan dampak serius, baik secara psikologis maupun fisik. Korban sering mengalami trauma psikologis yang mendalam, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca trauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
“Kekerasan seksual juga dapat menyebabkan cedera fisik, seperti luka, patah tulang, dan infeksi,” bebernya.
Tidak hanya itu, korban sering kali menghadapi stigma dan diskriminasi dari masyarakat, yang menyulitkan mereka dalam mendapatkan bantuan dan dukungan yang diperlukan.
Dunia Kerja di Jombang belum Mendukung Disabilitas
Adib melanjutkan, upaya membangun daya kemandirian disabilitas di Jombang juga tidak berbanding lurus dengan kondisi lapangan kerja. Lapangan kerja yang tersedia di Jombang cenderung diskriminatif kepada disabilitas.
Kabupaten Jombang terdapat 17 Sekolah Luar Biasa dengan total kurang lebih 1.000 peserta didik belum termasuk siswa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di sekolah Inklusi.
“Belum adanya Akomodasi yang layak bagi disabilitas di tempat kerja, mengindikasikan hambatan sistematis dalam merealisasikan tujuan pendidikan di Kabupaten Jombang,” ucapnya.
Upaya kemandirian disabilitas tidak hanya bicara tentang memberikan pelatihan keterampilan atau pendidikan. Tapi juga menciptakan peluang yang setara dan inklusif di dunia kerja.
“Aksesibilitas yang minim, seperti ruang kerja yang tidak ramah disabilitas, atau peralatan yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan, semakin mempersempit ruang bagi mereka untuk berkontribusi secara maksimal,” urainya.
Keberhasilan pemberdayaan tidak akan pernah tercapai jika sistem dan lingkungan kerja tidak berubah untuk memberikan kesempatan yang adil bagi disabilitas.
“Tanpa adanya kebijakan yang mendukung dan lingkungan kerja yang ramah disabilitas, impian untuk menjadi mandiri akan tetap menjadi angan-angan,” paparnya.
Lemah Data, Disabilitas Terabaikan Jaminan Sosial
Tidak hanya tentang kekerasan dan minimnya lapangan pekerjaan. ADJ juga menyayangkan terkait tidak adanya data disabilitas yang terpadu dan terintegrasi. Seperti mekanisme penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) yang belum berbasis data disabilitas.
Ia mencontohkan, pada masa pandemi Covid-19, berbagai program Bansos di inisiasi pemerintah untuk diberikan kepada kelompok rentan yang membutuhkan. Baik berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa (DD) atau Bansos Tunai (BST) Kemensos senilai Rp 600 ribu.
Kemudian Bansos Pemerintah Kabupaten Jombang atau Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 200 ribu serta KPM BPNT (Keluarga Penerima Manfaat Bantuan Pangan Non Tunai) berupa beras, telur, ayam.
“Meskipun program-program ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, kenyataannya banyak kelompok tidak mendapat manfaat secara optimal, salah satunya adalah penyandang disabilitas,” ungkapnya.
Tidak idak adanya data disabilitas yang terpadu dan terintegrasi, menjadi akar masalah ketidak akuratan dan kesalahan sasaran dalam pemberian bantuan sosial.
“Tanpa data yang akurat, pihak berwenang kesulitan dalam memverifikasi siapa saja yang benar-benar membutuhkan bantuan,” ucapnya.
Akses Layanan Publik Tidak Ramah Disabilitas
Adib Sumarsono juga menyesalkan aksesibilitas layanan publik yang belum ramah disabilitas. Meski sudah ada aturan tentang hak-hak penyandang disabilitas seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
“Pada kenyataannya masih banyak layanan publik di Kabupaten Jombang yang belum sepenuhnya ramah disabilitas,” akunya.
Ambil contoh, Gedung Pemerintah Kabupaten memang dilengkapi dengan lift, nyatanya dalam setiap sesi kegiatan di gedung pemerintah, masyarakat dengan disabilitas masih sangat kesulitan akses menuju ruang pertemuan rapat dengan menaiki tangga.
Hal serupa juga terjadi di Gedung Pendopo Kabupaten Jombang, yang belum menyediakan akses kursi roda, termasuk di kamar mandinya. Lalu di Masjid Jami Alun-Alun dan masjid lainnya pun belum memiliki fasilitas yang mendukung kebutuhan disabilitas.
“Selain itu, dalam setiap informasi layanan masyarakat di Kabupaten Jombang belum dilengkapi ketersediaan running text untuk memudahkan orang disabilitas menjangkau berbagai iklan layanan masyarakat secara inklusif dimanapun dia berada dan pentingnya dukungan ahli bahasa isyarat,” ucapnya menambahkan.
Harapan Untuk Pemimpin Baru di Jombang
ADJ menyatakan desakan kepada Pemerintah Kabupaten Jombang dan DPRD bisa segera menyusun kebijakan tentang disabilitas. Baik melalui Peraturan Bupati (Perbup) maupun Peraturan Daerah (Perda) dan memiliki data disabilitas yang terpadu di Jombang.
“Dalam mewujudkan hal tersebut agar bisa bekerjasama dengan SLB se Jombang dan Sekolah Inklusi yang ada di Jombang,” katanya.
Pihaknya juga mendorong pemenuhan hak disabilitas melalui akses layanan kesehatan, pendidikan, dan hukum yang inklusif. Juga penyediaan infrastruktur ramah disabilitas di seluruh pusat pelayanan publik di Kabupaten Jombang
“Juga Pemkab bisa mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang disabilitas secara integratif untuk meningkatkan pemahaman tentang hak-hak penyandang disabilitas bagi pelaksana kebijakan di seluruh SKPD dan masyarakat di kabupaten Jombang,” pungkasnya.
Perlu diketahui, pada tanggal 11 Februari 2025, 10 organisasi disabilitas yang tergabung dalam Aliansi Disabilitas Jombang memberikan penegasan dan tuntutan kepada Bupati Jombang.
Dimana 10 organisasi difabel tersebut diantaranya PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia), IPC (Ikatan Penyandang Cacat), PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia), GERKATIN (Gerakan Tuna Rungu Indonesia), SDM (Suara Difabel Mandiri), KVDJ (Kelas Volunteer Difabel Jombang).
Juga ada LBHAM (Lembaga Bantuan Hak Asasi Manusia), NPCI (National Paralympic Committee Indonesia), DMI (Disabilitas Motorik Indonesia) dan KORATUL (Komunitas Ramah Tuli Jombang).
Tuntutan yang disampaikan agar dalam periode kepemimpinan Waraubi dan Gus Salman bisa segera mengambil langkah konkret dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan yang lebih inklusif untuk penyandang disabilitas. (Pray/Editor Aro)