Surabaya – Nelayan dari HNSI Surabaya mengadukan proyek reklamasi Surabaya Waterfront Land (SWL) kepada Anggota DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Mereka khawatir proyek PSN ini merusak lingkungan dan mata pencaharian mereka.
Ketua HNSI Surabaya, Heru SR, mengatakan bahwa upaya mereka untuk menghentikan proyek, termasuk melalui DPR RI dan KKP, belum berhasil.
Alasan penolakan mereka meliputi gangguan ekosistem pesisir, dampak buruk bagi masyarakat lokal, dan pengabaian hak-hak komunitas.
“Proyek ini juga menggusur warga pesisir dari tanah kelahiran, merusak identitas budaya pesisir dan hal lainnya dan menghilangkan pendapatan nelayan,” kata Heru saat menyampaikan aspirasi kepada LaNyalla di Gedung Graha KADIN Jatim, Kamis (20/3/2025).
Sebagaimana diketahui, proyek yang akan dilaksanakan oleh PT Granting Jaya ini akan mereklamasi lahan seluas 1.084 hektare dan akan membaginya menjadi empat blok pulau. Menurut Heru, pembangunan dan reklamasi di lokasi yang saat ini sedang dalam proses AMDAL sudah barang tentu akan membuat pendapatan nelayan berkurang.

Sebab, kata dia, di lokasi yang direncanakan merupakan rumah ikan, di mana tempat tumbuh dan kembang ikan. “Karena merupakan rumah ikan, maka lokasi yang akan dibangun sering didatangi nelayan tak hanya dari Surabaya, tetapi juga dari Madura, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, Gresik dan wilayah lainnya,” kata Heru.
Jika wilayah itu dibangun, otomatis nelayan akan kehilangan pendapatan karena ikan tangkapan mereka berkurang. “Selain itu berpotensi timbul banjir rob bagi masyarakat pesisir. Hal ini yang harus diperhatikan dengan baik,” kata Heru.
Pembina HNSI Kota Surabaya, Samsurin, menyoroti bahwa walaupun proyek bernilai Rp72 triliun ini merugikan biota laut, bukti pelanggaran lingkungan masih belum ditemukan.
Merespons keluhan nelayan, Ketua DPD RI menyatakan komitmennya untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan kementerian terkait. Beliau menekankan bahwa pembangunan yang tidak adil dan merusak lingkungan harus dihentikan atau dikoreksi.
“Jika nelayan yang sebelumnya hidup cukup, kemudian menjadi menderita dan semakin miskin, maka pembangunan itu tidak membawa dampak dan tidak adil. Harus dihentikan atau dikoreksi total. Pembangunan itu ujungnya harus membawa manfaat bagi semua stakeholder. Apalagi nelayan adalah stakeholder utama,” urai LaNyalla. (Aro)