Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah situasi yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Namun, jika terjadi PHK, pekerja berhak atas sejumlah kompensasi, salah satunya adalah uang pesangon.
Uang pesangon adalah sejumlah uang yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja sebagai bentuk ganti rugi atas pemutusan hubungan kerja. Besaran uang pesangon ini diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan dan biasanya dihitung berdasarkan masa kerja pekerja.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan respon terhadap uji materi atas ketidaksinkronan antara UU Cipta Kerja dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. MK baru-baru ini mengabulkan sebagian tuntutan dan permohonan dari sejumlah organisasi buruh untuk menguji materi Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, khususnya dalam aturan terkait ketenagakerjaan. .
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menekankan perlu adanya revisi dan pemisahan aturan ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja untuk menghindari konflik norma yang membingungkan bagi pekerja. Dalam gugatan, para pengaju uji materi mengatakan putusan ini yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pekerja, terutama bagi mereka yang mengalami PHK.
Dalam putusan, sejumlah aturan yang sebelumnya diubah dalam UU Cipta Kerja diinstruksikan untuk dikembalikan seperti aturan awal yang termuat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Salah satu perubahan yang paling menonjol adalah terkait perhitungan pesangon untuk karyawan yang di-PHK.
Sebelumnya, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan pengali uang pesangon dan beberapa komponen hak karyawan, termasuk Uang Penggantian Hak (UPH). Namun, MK memutuskan untuk mengubah frasa besaran uang pesangon dalam UU yang bersifat tetap menjadi ‘paling sedikit.’
Misalnya, besaran pengali uang pesangon untuk kategori pensiun yang sebelumnya dikurangi dari dua kali menjadi 1,75 kali, serta dihapusnya Uang Penggantian Hak sebesar 15% dari uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Dengan adanya keputusan ini, perhitungan pesangon dan hak-hak karyawan yang di-PHK diharapkan lebih mendekati keadilan.
Putusan ini dinilai penting dalam memberikan kepastian hukum bagi pekerja yang rentan mengalami PHK, terutama di masa sulit seperti saat ini. Namun, MK juga mengingatkan bahwa keputusan ini adalah bagian dari langkah awal. Pemerintah dan DPR kini diwajibkan untuk segera merumuskan undang-undang ketenagakerjaan yang baru, terpisah dari UU Cipta Kerja, yang lebih harmonis dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Untuk karyawan yang terkena PHK, sejak ditetapkannya putusan terbaru MK maka tidak ada ada lagi batasan tertentu seperti yang sebelumnya berlaku dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja, setiap pegawai yang terkena PHK bisa mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan dari perusahaan atau hanya mendapat salah satu sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. Pada aturan itu uang pesangon bisa diterima maksimal 9 kali dari upah bulanan untuk masa kerja 8 tahun.
Untuk perhitungan uang penghargaan yang didapatkan oleh karyawan yang di PHK akan mendapat maksimal 10 kali upah untuk pekerja yang sudah mengabdi lebih dari 24 tahun. Uang penghargaan paling rendah diberikan kepada pekerja yang telah tiga tahun bekerja yaitu sebanyak dua kali upah bulanan.
Namun, dengan keluarnya putusan MK, buruh dimungkinkan mendapatkan pesangon lebih banyak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. Merujuk ketentuan ini, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Pada putusan MK ditekankan frasa ‘paling sedikit’ sehingga membuka ruang negosiasi antara pekerja dan pemberi kerja. Meski begitu ketentuan pembayaran pesangon, uang prestasi dan uang penggantian hak ini bisa saja berubah seiring dengan penyusunan aturan baru oleh DPR bersama pemerintah sebagaimana diperintahkan MK yang berlaku dalam kurun waktu dua ttahun
Adapun bunyi ketentuannya adalah “Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit'”
Aturan Pembayaran Uang Pesangon
* Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;
* Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
* Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
* Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
* Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
* Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
* Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
* Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
* Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.
Aturan Uang Penghargaan Masa Kerja
* Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
* Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
* Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
* Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
* Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
* Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah; * Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
* Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.
(aro)