Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong adanya pendampingan anak 14 tahun di Jakarta Selatan. KPAI menilai anak tersebut juga harus mendapatkan perhatian khusus.
Berbagai pernyataan Kepolisian atas kondisi anak 14 tahun terus menjadi perhatian publik. Sebagaimana disampaikan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Gogo Galesung pada (30/11/2024) bahwa anak mengaku tidak bisa tidur dan mendengar bisikan bisikan. Begitupun di nyatakan Kasi Humas Polres Jakarta Selatan AKP Nurma Dewi bahwa keterangan dari keluarga tidak ada gangguan jiwa.
Tentu saja berbagai pernyataan tersebut mengundang perhatian publik. Saya kira tim reskrim sedang bekerja keras untuk mengungkap kejelasan kasus ini. Termasuk menunggu Ibu nya yang kini masih dalam perawatan dan belum dapat memberi kesaksian. Karena kondisi yang masih dalam ruang intensif perawatan dan belum bisa di konfirmasi Kepolisian.
Jasra Putra Wakil Ketua KPAI yang juga Koordinator Kelompok Kerja Kesehatan KPAI melihat banyak hal yang di duga menjadi pemicu tindakan tersebut. Tentu saja dengan adanya 2 pendapat Kepolisian, penting kita analisa penyebab keduanya, karena pernah menjadi pernyataan anak
Bila kita mengikuti pernyataan awal tentang adanya bisikan bisikan gaib. Seperti diketahui kondisi anak anak yang membutuhkan pemulihan kejiwaan, sangat membutuhkan perhatian dan kebutuhan khusus jangka panjang. Situasi invisiblenya sering kali, manipulatif. Namun bila ini terjadi berkepanjangan, tentu menjadi ujian daya tahan keluarga.
Untuk anak atau orang yang mendapatkan bisikan gaib. Peristiwa psikologis ibu yang kabur, ayah dan nenek yang meski kondisi tertidur, namun karena psikologisnya biasa kasih sayang ke anak. Menambah situasi fatalitas akibat perbuatan anak yang berada dalam penguasaan bisikan gaib. Dengan ibu yang kabur, (apakah ibu tidak bisa melawan?) Tapi ibu memilih lari dan menghindar, adalah tanda kemungkinan perasaan tak kuasa, rasa sayang, yang juga bercampur baur dengan bayangan-bayangan tak menentu jika menyakiti anak.
Situasi anak-anak yang mengalami bisikan gaib adalah situasi puncak hambatan anak dalam berkomunikasi, tidak dapat ruang ekspresi dan hilangnya daya dukung, di tambah lingkungan yang tidak mudah untuk diajak mengerti kebutuhan mereka, dalam jangka waktu yang lama.
Anak anak ini bisa lebih buruk lagi situasinya, ketika tidak mendapatkan layanan kejiwaan yang layak, obat obatan, dan ruang khusus lainnya yang sangat diperlukan anak, terutama pemenuhan gizi jiwa mereka.
Dalam dunia psikotik, ada istilah wahm atau waham, yang dalam hal ini, anak 14 tahun tersebut mengalami hambatan komunikasi sangat akut, yang akhirnya menghadirkan delusi, dan menjadi gejala yang disebut Skizofrnia. Ujungnya anak tidak bisa membedakan antara kenyataan dan apa yang di bayangkan.
Namun ini akumulasi pengalaman buruk, atau pernah mengalami peristiwa tertentu, yang terus terbawa sampai sekarang dan membawa ganguan serius. Kemudian situasi yang ada, bertumpuk dengan perilaku yang buruk lainnya, yang harus di terima dan tidak menemukan jawabannya.
Keluarga punya tantangan dalam penanganan sehari-hari dalam merespon kondisi jiwa anak, namun sejauh mana keluarga mampu memenuhi kebutuhannya. Ini yang sering kali menjadi permasalahan lebih serius.
Pembiayaan layanan kesehatan jiwa yang layak, juga menuntut profesi untuk fokus pada layanan khusus. Yang pembiayaannya cukup tinggi, untuk konsultasi yang layak ada biaya sekitar 800 ribu hingga 1 juta. Begitupun ada beberapa obat yang tepat. Kabar dari teman teman apoteker, setiap hari mereka harus minum pil, yang hitungannya selama sebulan seharga 4 juta.
Akhirnya layanan terbatas, gratis atau cuma-cuma melalui BPJS tentu saja belum bisa memenuhi unsur layak tersebut. Sehingga sangat bergantung pada partisipasi masyarakat.
Situasi yang mengancam anak, juga akhirnya menyebabkan anak mengancam dirinya sendiri, akhirnya seringkali berperilaku beresiko, ketika sadar ingin mengakhiri hidup dan ketika mengalami gangguan tidak dapat menguasai diri. Situasi ini menyebabkan anak sulit sekali tidur, karena gangguan tersebut membuatnya teriak, tidak mau, lepas control karena tak kuasa tak mau menerima bisikan, apalagi kemudian berlanjut dengan menghadapi beberapa kecemasan akibat berbagai sebab
Bagi keluarga yang memiliki anak yang berada dalam situasi ini, berada dalam penanganan berkepanjangan. Yang seringkali sangat membutuhkan intervensi intensif, terutama ketika anak tantrum, mengalihkan kondisi anak namun dibayang bayangi kekhawatiran tinggi, kelelahan mengurus, tak kuasa, pengabaian.
Keluarga yang menghadapi salah satu anggota keluarga seperti ini, terkadang sulit menjelaskan kepada orang lain, karena terbebani etik, menyembunyikan kondisi anak dalam berbagai perbuatannya, dan ketakutan anak di tolak. Sedangkan di sisi lain, sangat dilemma, membutuhkan dukungan. Akhirnya tersimpan sekian lama
Anak anak seperti ini seringkali menganggap sulit berkomunikasi dengan orang sekitar. Tetapi orang sekitar juga mengalami tekanan hebat, bila tidak mendapatkan dukungan.
Anak anak atau orang yang mengalami ini. Juga seringkali menjadi incaran kejahatan dunia digital. Mereka di peras disana. Dan orang tuanya sering bingung menghadapi permintaan anak, sangat dilemma antara menuruti karena tak kuasa menghadapi, atau melarang dan akan menambah situasi buruk dalam kejiwaan anak.
Salah satu kasus yang perah terlaporkan adalah, Akibat kejahatan digital dengan mengrooming anak melalui video call, meminta transfer untuk pembelian yang di tawarkan. Namun ketika orang tua melarang, anak mengambil pisau. Dan orang di ujung video call itu tidak mau tahu (kondisi yang terjadi antara ibu dan anak). Mereka mengambil untung atas kondisi tersebut. Ibu nya sendiri takut mengambil hp anak dan pisau di tangan anak.
Fenomena remaja di mengalami kondisi kejiwaan bukan fenomena satu satunya di dunia. Karena paparan antara harapan dan kenyataan yang gap nya luar biasa harus di hadapi anak. Kemudian tekanan itu menenpatkan mereka menjadi korban bullying, tidak bisa mengikuti, dianggap tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan, padahal ada hambatan serius tentang kondisi kejiwaan.
Gsngguan kejiwaan itu bisa jadi semakin rentan, ketika anak berlebihan menyukai sesuatu, bisa juga riwayat mendapatkan kekerasan yang tak berhenti dan tak selesai, akses pengobatan yang tidak terus menerus.
Memang mental health ini naik turun kondisinya. Dan mereka anak anak kritis, makanya kecenderungannya juga, mereka pintar, peka, namun potensi itu diakhiri dengan perasaan sangat sensitif karena gangguan yang sudah lama menghuni di dalam diri.
Sebenarnya bahasa sehari hari pergaulan kita saat ini, banyak sekali yang bernarasi bully. Hampir separuh bahasa meminta anak belajar, isinya adalah bahasa kekerasan. Akhirnya spirit sadar dan akhirnya ingin belajar, jarang menjadi arus utama. Sebagaimana Amanah UU Sisdiknas.
Beberapa anak mampu bertahan dari perilaku kekerasan di rumah. Namun ketika mendapatkan bullying di luar rumah. Itu yang sering kali tidak terungkap, dan cikal bakal persoalan berat kejiwaan. Penyebab utamanya ruang keluarga jarang menjadi tempat curhat, tidak refelktif, tidak apresiatif.
Tapi dari laporan bebrapa kasus anak bundir atau membunuh, ruang keluarga cenderung menjadi penghakiman, hitam putih menilai perilaku anak dengan standar agama yang sebenarnya pelarian saja, untuk alih alih menyadarkan anak. Ruang keluarga juga lebih terbebani pertanyaan soal sekolah anak, karena ukurannya uang yang keluar, menjadi standar pencapaian anak. Misal perkataan orang tuamu dah susah cari uang buat kamu sekolah. Ukuran ini menyebabkan ruang beku dalam keluarga
Akhirnya anak mencari cara memulihkan bullying di media sosial, dan mendapatkan saran yang salah di media sosial. Ada metode di media sosial yang menyarankan anak untuk menghadirkan sosok sesuatu yang bisa menasehatinya, namun seringkali gagal karena tidak ada pendampingan professional yang perpengalaman. Bahkan menjadi semakin buruk.
Sebenarnya banyak metode yang diperkenalkan ahli psikologi anak, psikologi forensic, psikiatri, ahli kejiwaan dalam mengajak anak mendapatkan pemulihan terbaik. Saya kira Kepolisian sedang melibatkan para ahli untuk mengungkap motif dari perilaku anak.
Namun KPAI juga menyarankan agar ada pendampingan menetap, baik atas figur atau pendamping, tempat yang nyaman, tingkat keamanan di pertimbangkan. Karena bisa terjadi hal hal buruk diluar perkiraan, akibat peristiwa yang tak pernah bayangkan akan terjadi.
Jasra Putra
Wakil Ketua KPAI