Prof Afif: Negara Tak Boleh Ragu Menanggung Kesejahteraan Guru & Dosen
Reporter : Redaksi
Headlines
Jumat, 8 Agustus 2025
Waktu baca 4 menit

siginews-Lamongan – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konvensi Sains, Teknologi dan Industri Indonesia (KSTII), Kamis (7/8/2025), tentang pembiayaan guru dan dosen menuai respons dari kalangan akademisi dan organisasi masyarakat.
Salah satunya datang dari Prof. Dr. M. Afif Hasbullah, Guru Besar Hukum Universitas Islam Darul ’Ulum (Unisda) Lamongan yang juga menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PW ISNU) Jawa Timur.
Dalam keterangannya, Prof. Afif menegaskan bahwa negara tidak boleh menunjukkan keraguan sedikit pun dalam menanggung kesejahteraan guru dan dosen.
Ia menilai bahwa meskipun pernyataan Sri Mulyani bernuansa reflektif, wacana semacam itu tetap mengandung potensi pergeseran prinsip tanggung jawab negara terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional.
“Saya memahami bahwa Menteri Keuangan sedang menggambarkan tantangan fiskal negara, tetapi mempertanyakan apakah seluruh gaji guru dan dosen harus ditanggung negara bisa membuka ruang tafsir publik yang keliru. Pendidikan adalah amanat konstitusi, bukan beban yang bisa dinegosiasi,” ujar Prof. Afif saat diwawancarai di Lamongan, Jumat (8/8/2025).
“Pertanyaan Itu Sudah Dijawab Konstitusi”
Sebelumnya, Sri Mulyani menyampaikan bahwa banyak pihak di media sosial menyuarakan keprihatinan tentang profesi guru dan dosen yang kurang dihargai karena gaji yang rendah.
Ia menyebut hal itu sebagai salah satu tantangan keuangan negara. Namun yang menjadi sorotan adalah pernyataannya berikutnya:
“Apakah seluruh beban pembiayaan guru dan dosen harus ditanggung oleh anggaran negara atau bisa dibantu melalui partisipasi masyarakat?” katanya tanpa menjelaskan lebih lanjut bentuk partisipasi yang dimaksud.
Menanggapi itu, Prof. Afif menegaskan bahwa pertanyaan tersebut sebetulnya telah dijawab secara eksplisit oleh UUD 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) dan (4), yang mewajibkan negara menyelenggarakan dan membiayai pendidikan nasional.
Selain itu, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003) dan UU Keuangan Negara juga mewajibkan negara mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen APBN/APBD untuk sektor pendidikan.
“Kalau konstitusi sudah memberi jawaban yang jelas, maka seharusnya pertanyaan semacam itu tak lagi menjadi perdebatan dalam wacana kebijakan. Pendidikan adalah hak rakyat dan kewajiban negara. Itu prinsip negara hukum dan negara kesejahteraan,” tegasnya.
Partisipasi Masyarakat Jangan Jadi Alibi Pengalihan Beban
Menurut Prof. Afif, partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini telah berlangsung masif, bahkan mendominasi.
Lembaga-lembaga pendidikan swasta, baik dari ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, maupun yayasan independen lainnya, telah menanggung sebagian besar beban pendidikan, terutama di wilayah-wilayah yang belum terjangkau negara.
“NU sudah mendirikan ribuan madrasah, pesantren, bahkan perguruan tinggi. Dalam banyak kasus, gaji guru dan dosen di lembaga-lembaga ini jauh di bawah standar kelayakan. Mereka bertahan bukan karena negara hadir, tapi karena idealisme dan pengabdian. Maka ketika muncul pertanyaan seperti itu dari seorang Menteri Keuangan, tentu terasa ganjil,” ucapnya.
Prof. Afif menegaskan bahwa kontribusi masyarakat bersifat komplementer, bukan substitusi terhadap kewajiban negara.
Negara tidak boleh memaknai partisipasi masyarakat sebagai peluang untuk mengurangi tanggung jawab konstitusionalnya.
Negara Harus Hadir untuk Semua Tenaga Pendidik
Guru dan dosen, baik yang mengajar di institusi negeri maupun swasta, menurut Afif, seharusnya dipandang sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional.
Tidak boleh ada dikotomi dalam hal kesejahteraan, perlindungan sosial, maupun pengakuan profesi.
“Para guru dan dosen swasta juga mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat konstitusi. Maka negara harus hadir untuk mereka, tak boleh eksklusif hanya pada ASN. Wujudkan dengan insentif, subsidi, tunjangan profesi, jaminan sosial, bahkan skema pensiun,” jelasnya.
Lebih lanjut, Afif menyarankan agar pemerintah merancang kebijakan afirmatif terhadap yayasan pendidikan swasta yang berkomitmen meningkatkan kesejahteraan guru dan dosennya.
Bentuknya bisa berupa subsidi silang, insentif pajak, atau akses dana pendidikan berbasis kinerja kelembagaan.
Reformasi Anggaran, Bukan Reduksi Kewajiban
Alih-alih mempertanyakan pembiayaan guru dan dosen, menurut Prof. Afif, negara seharusnya melakukan reformasi menyeluruh terhadap tata kelola anggaran pendidikan.
Ia menyebut bahwa selama ini alokasi pendidikan kerap tersedot oleh program-program administratif dan infrastruktur, sementara kesejahteraan tenaga pendidik masih terabaikan.
“Kalau mau bicara efisiensi, kita harus meninjau ulang struktur belanja pendidikan. Guru dan dosen adalah pelaku utama, tapi seringkali bukan yang paling diutamakan. Ironisnya, negara justru membuka wacana tentang membagi beban mereka kepada masyarakat,” ujar Afif dengan nada prihatin.
Pendidikan Adalah Pilar Peradaban
Sebagai Plt. Ketua PW ISNU Jawa Timur, Prof. Afif juga menyampaikan bahwa pendidikan tidak boleh dilihat semata dari sudut ekonomi fiskal.
Guru dan dosen adalah pengawal nilai-nilai kebangsaan, penjaga nalar publik, dan pelaku utama peradaban. Negara yang tidak memuliakan tenaga pendidiknya, menurutnya, sedang menggali krisis masa depan.
“Mereka bukan beban, mereka adalah investasi jangka panjang. Kalau negara masih melihat guru dan dosen sebagai pos pengeluaran yang bisa dikaji ulang, maka kita sedang mengkhianati janji kemerdekaan,” tuturnya.
Pemerintah Sebaiknya Jaga Narasi, Tegaskan Komitmen
Di akhir pernyataannya, Mantan Ketua KPPU RI ini menyerukan kepada pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam membangun narasi publik, terutama yang menyangkut sektor-sektor strategis seperti pendidikan.
Ia berharap agar pernyataan pejabat negara tidak membuka ruang interpretasi yang menyakitkan atau menimbulkan kegalauan di tengah para pendidik.
“Wacana publik dari pejabat tinggi harus dilandasi sensitivitas konstitusional dan empati sosial. Para guru dan dosen selama ini sudah banyak berkorban, terutama di lembaga swasta. Negara seharusnya tidak menunjukkan keraguan dalam memuliakan mereka,” pungkasnya.
(Editor Aro)
#Polemik pembiayaan gaji guru dan dosen
#Prof. Dr. M. Afif Hasbullah
#Universitas Islam Darul ’Ulum (Unisda)



Berita Terkait

Terminal Petikemas Surabaya Terapkan Single ERP-SAP
Ekbis.Senin, 1 Juli 2024

Skandal Suap 3 Hakim Kasus Ronald Tannur Segera Disidang
Headlines.Selasa, 17 Desember 2024

Sirkuit ITS Jadi Tuan Rumah Perdana Balap Gokart Listrik PLN ICE 2025
Headlines.Selasa, 25 November 2025

Juventus Ancam Hancurkan Mimpi Torino di Derby ‘della Mole’
Headlines.Minggu, 12 Januari 2025

