siginews-Jakarta – Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi hari ini. Agenda pembuktian dari Pemohon menghadirkan Surya Tjandra, pakar hukum perburuhan dan jaminan sosial dari Unika Atmajaya, sebagai saksi ahli.
Diketahui, sidang uji materil UU Tapera dimohonkan oleh INTEGRITY Law Firm selaku kuasa hukum dari sebelas serikat buruh yang diberi Nomor Perkara 134/PUU-XXII/2024 dan digabungkan dengan dua perkara lain, yakni Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024 dan 96/PUU-XXII/2024.
Dalam kesaksiannya, Surya Tjandra melontarkan pandangan yang cukup kontroversial. Ia menjelaskan bahwa pada masa kini, kepemilikan rumah bukanlah sebuah keharusan yang harus diselesaikan, mengingat banyak masyarakat, termasuk anak muda, lebih mementingkan hunian yang layak tinggal daripada harus memiliki aset tetap.
Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah seharusnya lebih berfokus pada penyediaan fasilitas perumahan bagi masyarakat, tanpa harus “memaksa” mereka untuk memiliki atau membeli rumah. Lebih jauh, Surya Tjandra berpandangan bahwa secara faktual, tujuan utama di balik pungutan Tapera adalah untuk mengumpulkan dana dari rakyat.
“Berdasarkan penjelasan pemerintah melalui Kementerian PUPR, Tapera lebih banyak berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pengumpulan dana dari masyarakat. Bukan secara khusus berfokus pada pemenuhan kebutuhan perumahan layak bagi masyarakat khususnya buruh,” terang Surya Tjandra.
Sidang ini merupakan bagian dari rangkaian uji materiil UU Tapera yang dimohonkan oleh INTEGRITY Law Firm, mewakili sebelas serikat buruh, dengan Nomor Perkara 134/PUU-XXII/2024 yang digabungkan dengan dua perkara lainnya.
Dalam upaya memperkuat argumennya di sidang uji materiil UU Tapera, Surya Tjandra, pakar hukum perburuhan dan jaminan sosial dari Unika Atmajaya, memberikan contoh menarik dari kebijakan perumahan di negara lain.
Ia menyoroti Kota Leiden di Belanda, di mana paradigma kepemilikan rumah tidak berlaku; yang ada adalah jaminan tempat tinggal bagi setiap warganya.
“Ketika saya mahasiswa di Leiden. Saya sempat menumpang di salah satu rumah orang. Baru saya ketahui belakangan bahwa rumah itu bukanlah miliknya. Pemerintah Belanda menyediakan perumahan bagi penduduknya sampai meninggal. Setelah itu, rumahnya akan digunakan oleh orang lain untuk ditempati,” tutur Surya Tjandra.
Ia berpandangan bahwa model seperti inilah yang seharusnya menjadi fokus pemerintah Indonesia jika benar-benar serius dalam menyediakan akses perumahan bagi masyarakat.
“Seharusnya skema seperti ini yang dikembangkan jika pemerintah serius menyediakan akses perumahan,” tambahnya, menekankan bahwa penyediaan fasilitas lebih penting daripada paksaan untuk memiliki.
Sementara, saksi atas nama Rahmat Saputra, seorang buruh dari Kabupaten Subang, memberikan kesaksian bahwa pekerja tidak mampu membayar iuran Tapera.
Ia bahkan mengungkapkan gajinya minus sekitar Rp 1,4 juta setiap bulan, meskipun sudah di atas UMK.
“Banyak buruh di Subang harus mencari tambahan seperti menjual pulsa, token listrik, hingga menjadi ojek online untuk menutupi kekurangan. Jika kembali harus dibebani dengan pungutan Tapera, jujur, Saya tidak sanggup,” ungkap Rahmat.
Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan dan BP Tapera hadir mewakili pemerintah. Sidang akan dilanjutkan pada 17 Juni 2025, dengan kesempatan bagi pemerintah menghadirkan ahli dan saksi.
(Editor Aro)