Jombang – Belajar dari kasus Femisida atau pembunuhan perempuan karena alasan jenis kelamin sebagaimana dialami oleh Putri (18) siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) asal Kecamatan Kesamben, Jombang, menjadi sinyal abainya negara dalam menyediakan ruang aman bagi perempuan dan anak.
Perempuan dan anak kerap menjadi objek kriminalisasi hingga berujung pada hilangnya nyawa. Dan nyatanya dewasa ini itu tetap berlangsung dan terus meningkat. Meski upaya penegakan hukum terus dilakukan, tapi tetap menjadi sinyal minimnya ruang aman.
Puluhan aktivis, elemen masyarakat dari kalangan muda yang peduli dengan kondisi tersebut menggelar aksi unjuk rasa di halaman taman informasi Jombang dan berlanjut ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jombang, Selasa (25/2/2025).
Koordinator aksi Ana Abdillah mengatakan aksi mimbar bebas rakyat dilakukan untuk merespon suara rakyat atas minimnya ruang aman. Kriminalitas meningkat di Jombang, sayangnya objek dari tindakan kriminalitas cenderung menyasar pada perempuan dan anak.
“Jombang tidak lagi aman. Angka kriminalitas yang terjadi sangat mengerikan,” ungkap Ana Abdilah pada Selasa, (25/2/2025).
Menurut aktivis Women Crisis Center (WCC) itu, aksi unjuk rasa sebagai upaya merespon suara-suara ketidakadilan di masyarakat. Mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengusut tuntas kasus femisida PR dan kasus-kasus kekerasan lainnya.
“Menuntut pemerintah daerah untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak, serta menciptakan ruang aman di seluruh wilayah Jombang,” ujar Ana.
Dalam kasus Femisida PR, memang diakui Ana pihak polisi cekatan dalam menangkap para tersangka. Upaya penegakan hukum tetap harus dikawal dan memberikan keadilan bagi korban.
Sayangnya, langkah kepolisian tidak diikuti oleh kepedulian pemerintah daerah. Usai kasus penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan terhadal Putri terungkap oleh pihak polisi, keluarga korban mengaku tak satu pun dari instansi pemerintah daerah yang memberikan dukungan.
“Ini penting apakah pemulihan dampak dari peristiwa femisida ini itu bisa dirasakan oleh keluarga korban,” bebernya.
Ana meneruskan, padahal di aturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), pemerintah daerah mesti mengakomodir pemulihan dampak kerugian materiil maupun imateriil.
“Suport sosial, dukungan emosional yang penting didapatkan keluarga. Semoga tidak ada korban putri-putri lain,” terangnya.
Mewakili suara korban, Ana mendesak komitmen dari pemerintah daerah terutama DPRD Jombang mengeluarkan regulasi dalam bentuk Peraturan daerah (Perda) tentang perlindungan perempuan dan anak.
Perda yang penyusunannya melibatkan perwakilan korban. Mengakomodir usulan-usulan hingga bisa bersinergi menjalankan program-program perlindungan dan pendampingan korban kekerasan.
“Kriminalitas yang terjadi di Jombang menandai kemendesakan kebijakan untuk perlindungan perempuan dan anak,” lanjutnya.
Di wilayah pendidikan, pihaknya mendorong pendidikan kesehatan reproduksi itu tidak cukup dipelajari dalam Ilmu Pengetahuan Alam soal anatomi tubuh saja. Tapi mestinya diberikan pengetahuan kesehatan reproduksi mengingat di Jombang sudah ada Peraturan Bupati soal kesehatan reproduksi.
“Banyak pusat pengaduan satuan pendidikan tidak aktif, level pendidikan dibawah kementrian agama, pendidikan dan kebudayaan tidak aktif, tapi satgas nya banyak, aktivitas inovasinya nihil,” tandasnya.
(Pray)