siginews-Jakarta – Perlakuan berbeda dalam pencairan manfaat pensiun mendorong Serikat Karyawan PT Telekomunikasi (SEKAR TELKOM) membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Serikat Karyawan PT Telekomunikasi (SEKAR TELKOM) mengajukan perbaikan permohonan uji materiil Pasal 161 ayat (2), Pasal 162 ayat (4), dan Pasal 164 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon menilai adanya pengecualian nominal tertentu untuk pencairan manfaat pensiun secara sekaligus adalah inkonstitusional.
“Atas hal yang sama, sama-sama peserta, sama-sama tujuan adanya program pensiun itu untuk kemanfaatan di masa pensiun peserta tentu kenapa hal ini kok dibedakan, seperti itu, yang kami pertentangkan,” jelas Sudaryat, kuasa hukum Pemohon, dalam sidang perbaikan permohonan pada Rabu (28/5) di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Permasalahan terletak pada Pasal 164 ayat (1) huruf b UU P2SK yang memungkinkan pencairan manfaat pensiun sekaligus hanya jika besarnya manfaat pensiun kurang dari atau sama dengan Rp500 juta, atau jumlah tertentu yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Jika melebihi nominal tersebut, pencairan harus dilakukan secara berkala, sebagaimana diatur dalam Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (4) UU P2SK. SEKAR TELKOM mempertanyakan diskriminasi ini.
Serikat Karyawan PT Telekomunikasi (SEKAR TELKOM) berargumen bahwa Pasal 161 ayat (2), Pasal 162 ayat (4), dan Pasal 164 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) bersifat diskriminatif.
Mereka menilai pasal-pasal ini menutup potensi pembayaran manfaat pensiun sekaligus bagi peserta atau pihak yang berhak dalam program Pensiun Iuran Pasti, sehingga merugikan hak konstitusional mereka.
Menurut Pemohon, seharusnya peserta diberikan kebebasan untuk memilih apakah manfaat pensiun diterima secara berkala atau sekaligus.
Dalam petitumnya, SEKAR TELKOM memohon agar MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai ulang.
Mereka mengusulkan agar pembayaran manfaat pensiun, baik bagi peserta maupun ahli waris, dapat dilakukan secara berkala atau sekaligus sesuai kesepakatan pihak yang berhak, tanpa dibatasi nominalnya.
Perkara ini disidangkan oleh Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Sidang akan dilanjutkan dengan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk menentukan tahap selanjutnya.
(Editor Aro)