siginews – Dalam beberapa tahun terakhir utama sejak akhir pemerintahan Jokowi periode ke dua, pemberantasan korupsi di Indonesia terus menunjukkan geliat melalui penindakan tegas terhadap para pelaku bahkan di 100 Hari Kerja pemerintahan Prabowo.
Bahkan pemerintah mengklaim telah menyelamatkan uang negara sebesar 6,7 Triliun Rupiah dari kasus Korupisi yang dimuat dibeberapa media Ternama di Indonesia.
Namun, persoalan lain yang belum mendapat sorotan memadai adalah transparansi pengelolaan dan penggunaan uang hasil sitaan dari tindak pidana korupsi.
Bahkan banyak kasus korupsi besar seperti korupsi BLBI, Jiwasraya, hingga bansos COVID-19, PT Timah, Proyek BTS Kominfo menyisakan pertanyaan besar: Lantas ke mana uang sitaan yang nominalnya mencapai puluhan bahkan ratusan Triliun itu dialirkan dan digunakan?
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mengelola setiap rupiah, apalagi dana yang berasal dari tindakan melawan hukum dengan penuh integritas dan akuntabilitas.
Sebab, dana hasil sitaan korupsi sejatinya merupakan hak masyarakat yang telah dirampas oleh oknum koruptor. Maka dari itu, transparansi pengelolaan dana hasil sitaan Tindak Pidana Korupsi ini adalah suatu keniscayaan.
Regulasi Transparansi Pengelolaan Anggaran di Indonesia
Secara normatif, di Indonesia terdapat sejumlah aturan yang mewajibkan transparansi dalam pengelolaan uang negara, termasuk hasil sitaan tindak pidana:
1. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 18 menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi dapat dirampas untuk negara.
2. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang mewajibkan setiap pengelolaan dana publik dilakukan secara transparan dan akuntabel.
3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara terbuka kepada publik.
4. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) mewajibkan lembaga negara untuk membuka akses terhadap informasi pengelolaan keuangan negara kepada masyarakat.
Meski pada beberapa aturan tersebut belum ada yang menjelaskan secara konkrit terkait aturan Transparansi alokasi dana hasil sitaan tindak pidana korupsi, sehingga mungkin inilah yang menjadi cikal bakal lemahnya mekanisme pelaporan dan keterbukaan alokasi penggunaan dana hasil rampasan atau sitaan.
Hal ini terbukti dari minimnya informasi publik yang tersedia mengenai nilai total dan tujuan penggunaan dana-dana tersebut, bahkan dalam laporan keuangan negara.
Sebenarnya, Transparansi pada alokasi dana hasil sitaan tindak pidana korupsi bukanlah hal baru, bahkan beberapa tahun sebelumnya sudah pernah menjadi bahasan Ahli.
Dalam pernyataan terbukanya seperti Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Mahfud MD, menegaskan bahwa “Aset hasil kejahatan, apalagi korupsi, adalah milik publik. Maka penggunaannya harus dibuka secara transparan kepada masyarakat.”
Mahfud menilai bahwa masuknya uang hasil sitaan ke APBN tanpa penjelasan rinci akan membuka peluang penyelewengan baru.
Sementara itu, pakar hukum pidana UGM, Dr. Erdianto Effendi, berpendapat bahwa “uang hasil sitaan dari perkara korupsi tidak cukup hanya disetor ke kas negara. Harus ada pelaporan penggunaan, tujuan penggunaannya, serta publikasi secara terbuka.”
Lebih keras lagi, ICW dalam laporan tahunannya mengkritik lemahnya transparansi penggunaan aset sitaan. Mereka menyebut, “Minimnya transparansi membuka ruang baru korupsi. Pemerintah harus membuat dashboard publik real-time untuk pemantauan.”
Guru Besar Hukum Internasional UI, Prof. Hikmahanto Juwana, menambahkan bahwa “penyembunyian alokasi dana hasil sitaan adalah pelanggaran terhadap asas pemerintahan yang baik.”
Bahkan Prof Ramli dalam Kanal Youtub Indonesia Lawyer Club tahun 2023 Juga sempat menyinggung transparansi alokasi daa hasil sitaan Korupsi.
“Uangnya yang dikembalikan (dari koruptor) ratusan ribu triliun. Tapi dari sekarang yang saya ketahui ini, kalau soal pengembalian keuangan negara, sejak kapan kita mendengar Sri Mulyani sebagai kasir negara mengumumkan kepada publik, kalau betul kami telah menerima uang tersebut dan kami telah gunakan dalam pos-pos anggaran belanja negara sekarang (misal) untuk bansos dan sebagainya,” kata Prof. Romli.
Realita di Lapangan dan Potensi Maslahat
Laporan BPK tahun 2023 mencatat bahwa beberapa pos penerimaan dari hasil rampasan dan sitaan tidak diikuti dengan transparansi penggunaan.
Bahkan, alokasi anggaran dari hasil sitaan jarang dicantumkan secara rinci dalam dokumen APBN maupun APBD.
Ini menjadi catatan penting, karena dalam banyak kasus korupsi besar, nilai uang yang berhasil disita bisa mencapai ratusan bahkan ribuan triliun rupiah. Bila transparan, uang ini bisa digunakan untuk:
• Pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan,
• Bantuan sosial untuk korban kebijakan korup,
• Pendanaan KPK dan lembaga pengawas lain secara mandiri,
• Program pemberdayaan masyarakat rentan yang terdampak korupsi.
Atau bahkan dalam masing masing sitaan hasil korupsi di berbagai daerah bisa dikembalikan (dialokasikan untuk pembangunan daerah dimana kasus korupsi itu terjadi).
Dengan adanya alokasi tersebut, daerah yang terdampak korupsi bisa tetap terus berkembang dan maju dengan pengalokasian dana yang tepat dengan dikembalikan kepada pemilik anggaran tersebut yaitu masyarakat daerah yang terdampak.
Pengelolaan yang benar, uang hasil sitaan dapat menjadi instrumen keadilan restoratif bagi masyarakat. Sebaliknya, jika dikelola tanpa transparansi, uang tersebut dapat kembali jatuh ke dalam lingkaran korupsi birokrasi.
Pemerintah perlu segera:
• Membentuk dashboard transparansi aset sitaan yang bisa diakses publik,
• Menyusun regulasi turunan dari UU KPK dan UU Keuangan Negara khusus terkait pelaporan hasil sitaan,
• Memastikan audit terbuka BPK dan DPR terhadap setiap pos penerimaan hasil sitaan,
• Mengalokasikan dana hasil sitaan dengan partisipasi masyarakat dan LSM.
Keterbukaan dalam pengelolaan dana hasil korupsi bukan hanya tentang akuntabilitas, melainkan tentang pemulihan kepercayaan publik terhadap negara dimana uang sitaan hasil korupsi seharusnya menjadi simbol pemulihan dan bukan semata statistik perolehan/tangkapan tindak pidana korupsi. Tanpa itu, pemberantasan korupsi akan selalu pincang.
Seperti kata pepatah, “jika harta curian tidak kembali ke pemiliknya, maka keadilan hanya sebatas pidato.”
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan bersama KPK dan Kejaksaan perlu menerbitkan Laporan Kuartalan terkait Jumlah Hasil sitaan.
Jumlah yang masuk ke kas negara, alokasi anggaran dalam dashboard sistem Transparansi Online yang bisa dan mudah diakses Publik yang menampilkan data Kas secara visual dan akurat serta memberikan data spesifik dan tepat terkait alokasi dana sitaan semisal dana sitaan Korupsi Pendidikan dialokasikan untuk korban korupsi pendidikan.
Selain itu perlu juga adanya Revisi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang KPK untuk masukkan ketentuan wajib publikasi hasil sitaan dan penggunaan Keuangan Hasil Tindak Pidana Korupsi termasuk hak Prastisipasi masyarakat sebagai pengawas Pubik ekternal.
Penulis: Ahmat Trisno, S.H., M.H.
(Editor Aro)