Jakarta – Tahun 2023 jumlah kematian TBC (Tuberkulosis) di Indonesia sebanyak 134 ribu dan mengalami peningkatan 41 ribu dibandingkan tahun 2022. Padahal terdapat anggaran Rp 382 Miliar melalui DAK (Dana Alokasi Khusus) Kesehatan, hanya terealisasi Rp 13 miliar saja. Kabarnya pemerintah daerah penerima DAK tidak bisa membelanjakan ‘dibekukan’ oleh Kemenkes.
Terdapat dua cara untuk deteksi TBC pertama dengan mikroskopis. Kedua dengan bahan Tes Cepat Molekuler (TCM). Cara kedua lebih cepat dan akurat dalam mendeteksi penyakit TBC. Juga bisa untuk mengetahui apakah penderita alergi terhadap obat TBC, sehingga bisa dicarikan penanganan secepatnya.
Tercatat pada Februari Tahun 2023 satu persatu daerah kehabisan stok, bahkan Pemkot seperti Surabaya pun sampai kehabisan stok.
Ada 217 pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada November yang kehabisan stok. Sehingga kematian akibat TBC di Tahun 2023 mencapai 134 ribu, dari 1 juta lebih penderita yang terdeteksi.
Lantas Bagaimana Hal Ini Bisa Terjadi?
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Sutikno menilai, ketidak mampuan daerah untuk membelanjakan dana DAK, yang berujung kehabisan stok TCM, karena bermula ketika Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Sekjen Kemenkes) Kunta Wibawa Dasa Nugraha, melalui surat nomor PR.01.06/A/20448/2023 tanggal 15 Maret 2023 yang ditujukan kepada Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu dan Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bapenas.
Adapun isi surat tersebut meminta agar DAK kesehatan non fisik untuk pengadaan TCM dibekukan.
“Tiga bulan kemudian Kemenkeu dan Bapenas menyetujui permohonan Kemenkes,” ujar Ketua FKMS Sutikno kepada siginews.com, Kamis (26/12/2024).
Selain itu kata Sutikno, Sekjen Kemenkes melalui surat Sekjen Kemenkes Nomor PR.01.06/A/20648/2023 tanggal 21 Maret 2023 kepada Kepala Dinkes Kabupaten/Kota yang menjadi Lokus Cartridge TCM.
Dalam surat tersebut, Sekjen menyampaikan bahwa komponen pengadaan Cartridge TCM bersumber dari biaya DAK Nonfisik Tahun 2023 yang masuk ke dalam Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Dinkes Kabupaten/Kota, Menu Kefarmasian dan BMHP (bahan medis habis pakai), perincian menu Bahan Habis Pakai (BHP), Pencegahan dan Pengendalian Penyakit diusulkan untuk dibekukan.
“Selanjutnya, untuk kebutuhan Cartridge TCM akan dipenuhi oleh Pemerintah Pusat dengan penggunaan anggaran yang lebih efisien bersumber dari dana APBN,” ujarnya.
Lebih jauh Sutikno mengatakan bahwa, selama menunggu persetujuan dari Kemenkeu dan Bappenas, pihak Kemenkes melalui Biro Pengadaan Barang dan Jasa melakukan perencanaan awal pengadaan dengan dua metode yaitu, Pembelian melalui perusahaan lokal yang mampu menyediakan yaitu PT Medquest Jaya Global (PT MJG)-Distributor tuggal produk TCM merek Cepheid.
Serta dengan metode pengadaan langsung ke prinsipal di luar negeri yakni, Cepheid HBDC SAS.
“Hasil perencanaan awal diketahui bahwa, Kemenkes akan melakukan pengadaan langsung ke Cepheid HBDC SAS karena tidak ada kesepakatan harga dengan PT MJG. Selanjutnya Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa melakukan diskusi untuk pengadaan Cartridge TCM dengan Cepheid HBDC SAS,” jelasnya.
Lantas Mengapa Ada Dua Metode Ini?
FKMS menduga pemilihan dua metode ini dilandasi motif politik. Diakhir Tahun 2022 sebuah partai yakni Nasdem, sudah mengusung Anies Rasyid Baswedan(ARB) sebagai bakal calon Presiden untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2024.
Di awal Tahun 2023 pergerakan ARB semakin massif. Salah satu tokoh pendukung ARB adalah Jusuf Kalla. Nah, PT MJG selama ini tercatat sebagai salah satu penyumbang PMI dimana Jusuf Kalla sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI). Selain itu perusahaan ini berdiri ketika Jusuf Kalla menjabat Wakil Predien Republik Indonesia Tahun 2004.
“Ketika ARB memastikan maju Bersama Cak Imin (Muhaimin Iskandar) di Pilpres 2024, maka metode langsung beli ke Cepheid HBDC SAS yang dipilih. Apakah ini ada kaitannya? Tentu butuh penelusuran lebih jauh,” tutur pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur.
Sutikno mengatakan, dugaan motif politik ini semakin kuat mengingat, harga beli ke PT MDJ dengan beli ke Cepheid HBDC SAS tidak jauh beda. Memang harga PT MDJ lebih mahal, yakni USD 16,3 atau setara dengan Rp 252.500,00(kurs waktu itu). Ini harga tayang di E-katalog yang masih ada peluang dinegosiasikan. harga itu sendiri sudah termasuk pajaknya.
Sementara bila beli ke Cepheid HBDC SAS harganya USD 8,3. Dan itu belum termasuk bea masuk, PPN BM dan PPH totalnya sekitar 41%.
“Jadi bila dibandingkan harganya menurut perhitungan kami hanya selisih Rp 5.000,00. Lucunya lagi AKL-nya (alat kesehatan luar negeri) sebagai syarat bisa beredar di Republik Indonesia milik PT MDJ yang digunakan oleh dan masih berlaku sampai 2026,” jelas Sutikno.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Aji Muhawarman saat dikonfirmasi siginews.com melalui pesan whatsapp (WA) terkait pembekuan dana DAK Kesehatan Non Fisik untuk penanggulangan TBC, pada pukul 21.11 Wib, Kamis (24/12/2024) malam.
“Sumbernya dari mana mas,” kata Aji Muhawarman.
Ketika diterangkan sumbernya dari mana, hingga pukul 06.49 Wib, Jumat (27/12/2024), Aji belum meresponnya.(jrs)